MASYARAKAT
BATAK [KRISTEN] DAN KEDEWASAAN BERPOLITIKNYA DI SUMATERA UTARA
(Menyikapi
Hasil Sementara PILGUBSU 2013)
Oleh:
Roimanson Panjaitan, M.Pd.K
Dugaan intrik dan strategi
politik yang tidak sehat, dan suara
massa yang terpecah-pecah.
Mungkin sangat jelas dan bahkan masih membekas dalam ingatan
kita tentang hasil Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (PILGUBSU) yang
diselenggarakan pada tanggal 07 Maret 2013 lalu. Bagaimana tidak, dari sekian
pasang cagub/cawagub yang ikut bertarung dalam pertarungan politik, hanya dua
orang diantaranya yang beragama Kristen. Satu orang berada pada posisi sebagai
calon gubernur (Cagub No 2), sedangkan satu orang lagi berada pada posisi
sebagai calon wakil gubernur (Cawagub No 4).
Awalnya kedua calon ini sempat menuai kontroversi dan
polemik di kalangan masyarakat banyak, terutama di kalangan para loyalis atau
pendukungnya, khususnya di kalangan masyarakat Kristen sendiri. Pasalnya, salah
satu calon, yakni cagub No 2 tiba-tiba
muncul dan terdengar ke publik SUMUT pada saat-saat terakhir pendaftaran
cagub/cawagub akan ditutup oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumut. Sebelumnya
calon yang dimaksud tidak pernah terdengar. Sehingga menurut perkiraan, hanya
ada satu calon yang orang akan mewakili orang Batak (Kristen) ikut bertarung
dalam kompetisi politik demokrasi ini. Tetapi semuanya harus terjadi. Alhasil,
calon yang tidak diduga ini muncul sebagai figur Cagub yang diusung oleh
partainya sendiri, dan beberapa partai pendukung lain. Sedangkan calon No. 4
yang sudah lebih dulu dikenal, terpaksa harus rela dipinang oleh partai lain
dengan catatan sebagai pendampin atau cawagub, karena memang calon no 4 ini
bukanlah kader partai politik. Dan dalam urusan politik, apalagi yang
menyangkut kepentingan partai politik (parpol) hal tersebut bukanlah sebuah hal
yang jarang terjadi. Tetapi sebenarnya, untuk persoalan pilgubsu kali ini,
disinalah sebenarnya akar persoalannya. Bagaimana tidak, meski terbilang baru,
kehadiran calon No. 2 ini membelah keutuhan suara masyarakat Kristen yang
“mungkin” ditujukan kepada calon No. 4. Sampai akhirnya ke dua calon resmi ikut
bertarung sebagai cagub dan cawagub untuk periode 2013-2018 bersama dengan
pasangan cagub/ cawagub lainnya.
Untuk mendulang suara, masing-masing calon harus tampil
proaktif di kalangan masyarakat. Demikian juga yang dilakukan oleh kedua calon
ini. Hingga akhirnya dalam masa kampanyepun, hampir kedua “perwakilan” ini
seperti berlomba-lomba untuk meraih dimpati masyarakat, yang mungkin hal itu
berdasar jika kita menyimak mengikuti mereka tatkala sosialisasi dan pada saat
kampanya ke masyarakat di seluruh daerah kabupaten/kota yang ada di wilayah
Provinsi SUMUT. Dengan demikian mau tidak mau perpecahan suara masyarakat
Kristen seiring dengan waktu semakin tercerai berai. Tetapi sekali lagi, itu
harus terjadi.
Organisasi Kristen sebagai wadah “massa” dari Masyarakat
Kristenpun akhirnya ikut terbagi-bagi. Perhatian Gereja, STM, Punguan Marga,
dll yang menjadi basis daripada masyarakat Kristen ini harus terpengaruh dalam
situasi yang disebabkan oleh intrik politik yang terjadi sebelumnya.
Hasil yang mengejutkan!
Pada tanggal 07 Maret 2013, tepatnya hari Kamis dimulai
pukul 08 Wib, pesta demokarsipun berlangsung. Pertarungan yang sesungguhnyapun,
yakni pemilihan cagub/cawagub secara langsung oleh masyarakatpun terlaksana
pada saat itu. Kira-kira pukul 14.00 siang, setelah waktu pencoblosan,
masyarakatpun mulai menunggu hasil dari pemungutan suara. Beberapa media TV
bekerja sama dengan beberapa lembaga surveypun menayangkan hasil pemungutan
suara berdarkan versi hitungan cepat (Quick Qount). Diawal-awal perhitungan, salah
satu calon ini, yakni cagub No. 2 sempat memimpin perolehan suara. Namun tak
lama kemudian, keadaan mulai berubah. Calon yang ini akhirnya mulai tertinggal
dan berada pada urutan ke dua, kurang lebih 23, 4%. Ironisnya, pasangan yang
menjadi saingan beratnya dan sekaligus pasangan yang mengunggulinya bukanlah
dari calon yang tadinya dianggap sebagai pemilik massa, yakni calon No. 4.
Tetapi berasal dari pasangan No. 5 yang berasal dari calon Incumbent. Sebagai
catatan, calon ini berasal dari suku dan agama lain dengan perolehan suara
berdasarkan versi QC kurang lebih memimpin perolehan suara pada kisaran 32,7%.
Alhasil perolehan ini sungguh mengejutkan.
Akankah ini kita biarkan terjadi
[lagi]?
Barangkali jika kita menilik persoalan politik di negeri ini
seharusnya masalah yang seperti yang terjadi dalam pilgubsu ini tidak
seharusnya terjadi, asalkan masyarakat [Kristen] di SUMUT memiliki sikap
politik yang bijak. Tetapi sungguh disesalkan, SUMUT yang dikenal sebagai salah
satu kantong kekristenan di Indonesia, harus merelakan daerahnya dipimpin oleh
orang lain. Masyarakat Kristen seharusnya dapat bersatu dan tidak
terpecah-pecah oleh keadaan politik yang tidak sehat. Para calon pemimpin dari
kalangan Kristen juga seharusnya tidak mau dipecah-pecah oleh elit-elit politik
yang menginginkan agar tokoh Kristen di SUMUT tidak memiliki kuasa untuk
memimpin daerahnya sendiri.
Memang hasil pilgubsu di atas belum merupakan hasil Resmi
dari KPU SUMUT. Tetapi setidaknya perolehan suara serta keadaan ini dapat menjadi
acuan untuk kita berpikir: “Akankah ini kita biarkan terjadi [lagi]?”. Gereja, STM, Punguan Marga, dan
Lembaga-lembaga maupun organisasi Kristiani lainnya, seharusnya harus
memberikan pendidikan politik yang sehat kepada warganya. Sehingga tidak
adalagi warga yang tidak ada lagi identitasnya, yang secara administratif membuat
warga tidak dapat berpartisipasi untuk memberikan suara. Sehingga tidak ada
lagi warga yang menyatakan Golput dengan alasan yang dibuat-buat. Dan perlu
diketahui, golput bukanlah sikap Kristen (gereja). Kenapa ini harus ditegaskan?
Karena dalam pilgubsu kali ini banyaknya warga yang golput juga diduga menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan berkurangnya suara kepada pasangan Kristen
ini. Oleh karena itu, sebaiknya masyarakat Kristen harus bangun. Bangun dari
kebodohan karena mau terpecah-pecah; bangun dari kebodohan sikap acuh tidak
acuh dalam peristiwa politik; bangun dari kebodohan karena memilih untuk
bersikap golput; serta bangun dari kebodohan karena masih adanya sikap egoistis
yang pada akhirnya hanya menjerumuskan masyarakat [Kristen] itu sendiri.
Sesungguhnya peranan serta kedewasaan masyarakat [Kristen] sangat dibutuhkan
jikalau ingin SUMUT maju dan mandiri.
Komentar
Posting Komentar