A. Riwayat
Hidup
Horace Bushnell lahir pada tanggal 14
April 1802, di Litchfield, sebuah desa kecil di bagian barat Negara bagian
Connecticut. Ia adalah anak sulung dari dari sebuah keluarga petani yang
beriman dan mengasuh anak-anaknya dengan bijaksana. Kebijaksanaan orang tua
Bushnell dalam mendidik anak-anak mereka nampak pada “kemerdekaan yang
diberikan kepada setiap anak untuk mengambil keputusan sendiri tentang hal-hal
yang bermakna, yakni yang berkaitan dengan iman.”
Bushnell masuk perguruan tinggi Yale pada tahun 1823, ketika berusia 20 tahun.
Studi yang ditekuni adalah olahraga dan musik. Bakat kepemimpinnya mulai nampak
ketika ia membentuk dan memimpin sendiri Klub Beethoven, sebuah klub paduan
suara yang ia lengkapi dengan anggaran dasar klub.
Mengenai kepribadian Bushnell,
teman-temannya beranggapan bahwa ia adalah seorang yang ramah karena itu ia
disukai oleh banyak orang; memiliki pembawaan yang tenang dan memiliki rasa
hormat kepada dosen-dosennya. Meskipun demikian, Bushnell bukan orang yang
dapat membiarkan ketidakadilan, bersama dengan rekan-rekan sekelasnya ia
melakukan pemberontakan kepada salah seorang dosen yang ia anggap tidak adil.
Tahun 1827 ia menyelesaikan studinya
lalu mencoba menjadi guru, namun profesi guru ternyata tidak sesuai dengan
minatnya. Setelah lima bulan menjadi guru ia berhenti mengajar dan menjadi
redaktur surat kabar New York Journal of Commerce. Meskipun dunia jurnalistik
cukup menarik, namun ia merasa belum menemukan panggilan hidupnya yang
sesungguhnya. Karena itu ia kembali lagi ke kampus untuk menempuh studi di
Fakultas Hukum. Kehadirannya kembali di kampus ternyata menarik perhatian
Rektor pada saat itu yang kemudian menawarinya menjadi tutor. Lewat pergumulan
serta atas dorongan ibunya Bushnell akhirnya menerima tawaran tersebut. Jabatan
sebagai tutor ia laksanakan dengan baik sehingga ia sangat dihargai oleh
mahasiswa. Ia berhasil menyelesaikan studinya dengan baik pada tahun 1831 dan
mendapat izin untuk melakukan praktik sebagai pengacara, meskipun ia sendiri
tidak pernah mengajukan permohonan untuk membuka praktik pengacara.
Panggilan hidupnya akhirnya ia temukan bersamaan dengan maraknya
kegiatan kebangunan rohani yang melanda kampus Yale saat itu. Ia kemudian
mengambil keputusan penting yakni melupakan cita-citanya menjadi pengacara dan
membulatkan tekad untuk menjadi pendeta. Khotbanya di kapel Yale seolah-olah
menjelaskan pergumulan batinnya ketika memutuskan menjadi pendeta.
1.
Jangan
takut akan keragu-raguan Anda.
2.
Sebaiknya
Anda takut akan setiap perdebatan yang walaupun cerdik namun kosong isinya, ya,
sebaiknya Anda takut akan setiap muslihat, dan pertentangan yang dihasilkan
oleh argumentasi yang tidak jujur.
3.
Camkanlah
asas tetap ini, yakni kalau Anda menghina orang lain, maka tindakan itu akan
berdampak fatal atas diri Anda sendiri.
4.
Jangan
menganggap sesuatu benar hanya karena kalau memegangnya Anda lebih aman
ketimbang sebaliknya, yakni untuk menarik kesimpulan yang tidak diterima secara
umum.
5.
Terimalah
hal ini sebagai hukum, yakni jangan memaksakan nalar menarik kesimpulan
tertentu ataupun untuk percaya akan sesuatu.
6.
Jangan
memaksakan diri lekas percaya; jangan berusaha menang atas keragu-raguan Anda
menurut batas waktu tertentu.
Tanggal 22 Mei 1833, Horace Bushnell
ditahbiskan dan dilantik menjadi pendeta jemaat North Church, Hartford, di
negara bagian Connecticut, satu-satunya jemaat yang ia layani sepanjang masa
hidupnya. Lima bulan setelah itu ia menikah dengan Mary Aptorph. Tahun 1845,
ketika berusia 43 tahun, saat ia berada di puncak keberhasilan pelayannya,
Bushnell terpaksa harus menjalani liburan selama satu tahun karena menderita
sakit paru-paru, sejak itu kesehatannya mulai merosot. Setelah masa liburnya
berakhir ia terus melayani dan menulis buku, bahkan melibatkan diri dalam
urusan perkotaan dengan mengusulkan pembangunan taman kota di pusat kota,
tempat yang sebelumnya dijadikan lokasi pembuangan sampah, kandang babi,
gudang-gudang, bengkel kereta api, dan rumah susun bermutu rendah. Melalui
kegigihannya, taman tersebut akhirnya berhasil dibangun dan diberi nama
Bushnell Park, sebagai penghargaan dan terima kasih kepada penggagasnya.
Kesehatannya yang terus menurun mengakibatkan Bushnell tidak mampu
menyelesaikan penulisan buku mengenai Roh Kudus yang ia mulai tahun 1875 sampai
akhirnya meninggal dunia pada 17 Februari 1876.
B. Pandangan
Teologi Tentang Bahasa Keagamaan
1. Gaya Berteologi
Bushnell menganut gaya berteologi yang
menolak setiap usaha orang untuk membekukan iman Kristen dalam pokok ajaran
teologi yang ia warisi tanpa berefleksi atas artinya dalam konteks yang
berbeda, dan cara ia menjelaskan pokok iman Kristen berdasarkan pembahasan
bahasa keagamaan yang bersifat khas. Dalam pandangan Bushnell gaya berteologi
yang tertutup dan tidak konstekstual akan mudah menimbulkan perselisihan di
kalangan umat Kristen.
2. Teologi Bahasa Keagamaan
Bushnell berpendapat bahwa pembicaraan
yang tidak berkaitan langsung dengan benda/objek tertentu selalu menuntut
penggunaan bahasa simbolis dan figuratif, karena itu anggapan yang mengatakan
bahwa kata-kata yang digunakan dalam mengungkapkan sebuah gagasan tertentu
telah mencakup seluruh arti dalam gagasan tersebut adalah sebuah kekeliruan.
Bahasa keagamaan hanya mendekati arti yang sebenarnya, karena itu mustahil
menggambarkan kenyataan rohani secara lengkap. Untuk memperkuat argumentasinya
Bushnell merumuskan lima asas pemahaman dasariah penggunaan bahasa di kalangan
orang beriman sebagai berikut:
1. Pengalaman pribadi menentukan arti.
Dalam memberi makna terhadap kata tertentu setiap orang dipengaruhi oleh pengalaman
hidup dan pengumulannya.
2. Kenyataan rohani hanya diungkapkan
melalui kiasan saja. Setiap bahasa keagamaan hanya dapat diucapkan dengan
ibarat yang tidak sama dengan kenyataan yang ditunjukkan atau dilambangkan oleh
ibarat tersebut.
3. Peristilahan keagamaan bersifat
paradoks. Melalui paradoks kita ditolong lebih dekat kepada kebenaran dari pada
melalui penalaran
4. Peristilahan keagamaan lebih menunjuk
kepada kebenaran dari pada menyampaikan kebenaran. Istilah keagamaan tidak
menyampaikan kebenaran secara langsung, tetapi membangkitkan kesadaran
pendengar atau pembaca tentang kebenaran yang dilambangkan atau ditunjukkannya
5. Bahasa keagamaan membangkitkan iman. Bushnell
melihat bahasa keagamaan sebagai sarana insani yang lebih kuat dari argumentasi
logis untuk membangkitkan iman.
C. Teori
dan praktek Pendidikan Agama Kristen
Pandangan Bushnell tentang Pendidikan
Agama Kristen (PAK) tertuang dalam bukunya yang berjudul Christian Nurture.
Buku ini sendiri merupakan refleksi atas anugerah Allah terhadap keluarga
Kristen, termasuk keluarganya sendiri. Ia juga menentang teologia pada zaman
itu yang mengorbankan kemauan manusia demi penekanan atas kedaulatan Allah.
Menurutnya, teologi seperti itu tidak sesuai dengan anugerah Allah yang
disaksikan Alkitab dan yang dialami oleh keluarga Kristen. Pengaruh orang tua
Kristen terhadap anak-anak sangat penting dan tidak boleh diabaikan. Fakta yang
tidak boleh diabaikan ialah bahwa setiap individu lahir dan dibesarkan dalam
kelompok, berinteraksi dengan kelompok lain dan anggota-anggotanya, dan bahwa
dalam mengambil keputusan pribadi ia tidak terlepas dari pertimbangan atau
nilai-nilai yang berlaku bagi kelompoknya.
Berikut ini adalah pandangan-pandangan
dasariah Bushnell tentang teori dan praktek PAK.
1. Apakah
PAK itu?
Menurut
Bushnell, Pendidikan Kristen adalah “… pengalaman anak yang dibesarkan dalam
keluarga Kristen, dan metode-metode yang Allah berlakukan.” Bushnell menyatakan
bahwa Anak yang dibesarkan dalam keluarga Kristen tidak hanya cenderung
menyerap kesalehan yang diamalkan oleh orang tuanya, tetapi yang lebih penting
lagi adalah Allah menyuruh orang tuanya memberi bimbingan agar anak itu berbuat
demikian. Demikianlah kita membaca perintah berikut: “Didiklah orang muda
menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan
menyimpang dari pada jalan itu” (Ams. 22:6).
2. Tujuan
PAK.
Rumusan
tujuan PAK Bushnell terbagi dalam tiga kategori, yakni tujuan PAK untuk anak,
orang tua, dan warga jemaat.
a. Tujuan PAK terhadap anak, ialah:
“supaya ia (anak) menerima kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut oleh orang
tuanya, belajar bertindak baik, bertumbuh secara wajar dalam iman Kristen
sebagai anggota jemaatnya.”
b. Tujuan PAK terhadap orang tua, ialah: Menyediakan
pengalaman belajar yang menolong orang tua mempertimbangkan sejumlah cara
mengurus rumah tangga dan dampaknya secara khusus atas pertumbuhan anak, yang
melibatkan mereka dalam penelaahan sumber iman Kristen, yang menggiatkannya
memilih tindakan yang semakin selaras dengan iman yang mereka ungkapkan secara
lisan, sehingga mereka lebih mampu menyampaikan iman Kristen kepada anaknya
c.
Tujuan
PAK terhadap warga jemaat, ialah: menyediakan pengalaman belajar secara teratur
di sepanjang umurnya melalui seluruh liturgi kebaktian, khususnya melalui
khotbah, pembacaan dan penelaahan supaya mereka diperlengkapi untuk
memanfaatkan iman Kristen yang semakin matang sehingga warga Kristen itu mampu
menyoroti masalah hidup sedemikian rupa, menjadi warga Negara yang setia kepada
Tuhan dalam pelaksanaan tugas masing-masing.
3. Lingkungan
dan konteks Pendidikan Agama Kristen.
Menurut Bushnell, konteks utama PAK
ada dua, yakni :
d. Rumah tangga. Bushnell mengatakan “…
segala hubungan dalam keluarga, termasuk iman, menghasilkan mutu kehidupan yang
khas dari keluarga itu. Artinya, anak akan cenderung menyerap kekuatan dan
kelemahan keluarganya, karena di dalam rumah tangga anak menerima pendidikan
secara langsung, Pendidikan di dalam keluarga membutuhkan wibawa dari orang,
terutama ayah, dan pendekatan yang proporsional, tidak merampas kemerdekaan
anak, tetapi memiliki standar yang jelas dan tegas.
e. Jemaat. Jemaat perlu menyambut anak ke
dalam persekutuan dan menyediakan pengalaman belajar yang teratur, dan bekerja
sama dengan orang tua untuk melibatkan anak-anak yang sudah dibaptis dalam PAK.
4. Pengajar
Ada empat pengajar yang menurut
Bushnell memainkan peran penting dalam PAK, yakni orang tua, jemaat, pendeta,
dan anak-anak.
a. Orang tua sudah berperan sebagai
pengajar sejak anak dalam kandungan dengan cara membangun hubungan suami istri
yang baik dan dapat memberi ketenangan kepada sang ibu selama mengandung.
Setelah anak lahir, orang tua mengajar anak melalui mutu kehidupan keluarga,
melatih dan membiasakan anak dalam aktivitas kerohanian dan member kesempatan
kepada anak untuk memberi respon. Orang tua juga harus peka dan peduli terhadap
masalah dan pergumulan anak. Pesan penting dari Bushnell adalah “… anak
dikaitkan dengan orang tua bukan dalam hal isi bimbingan, melainkan dalam hal
mutu kehidupan, karena mutu kehidupan itu sendiri jauh lebih berpengaruh
terhadap kehidupan anak dari pada pokok ajaran yang disampaikan kepadanya.”
b. Jemaat mengajar melalui kualitas
hubungan antar komponen/unsure-unsur di dalam jemaat serta kehidupan jemaat
yang terorganisasi dengan baik. Jemaat perlu menyusun rencana PAK yang baik,
melakukan pelayanan kepada orang miskin serta perhatian kepada orang yang belum
bertobat.
c.
Pendeta
mengajar melalui khotbah-khotbah yang dapat diolah kembali oleh jemaat untuk
memperlengkapi hidup mereka sebagai murid Yesus Kristus di dalam lingkungan
rumah tangga, gereja, dan masyarakat.
d. Anak-anak menurut Bushnell berperan
sebagai pengajar karena keberadaan mereka sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari jemaat, kehidupan anak memancarkan sinyal-sinyal yang perlu direspon oleh
orang tua dan dijadikan bahasar/dasar pertimbangan dalam mendidik anak-anak.
5. Pelajar.
Ada
tiga golongan pelajar, yakni: anak-anak, orang tua, dan warga jemaat dewasa.
a. Anak-anak. Hakekat anak-anak sebagai
pelajar digambarkan oleh Bushnell sebagai berikut: (1) anak adalah anak Allah
dan anggota jemaat, (2) anak dibesarkan secara organis dalam kelompok,
khususnya keluarga, (3) anak adalah seorang pelajar di kalangan jemaat, (4)
seperti halnya orang tuanya, anak adalah mahluk yang diperlemah oleh daya tarik
dosa, dan (5) anak memiliki potensi untuk berkembang. Meskipun Bushnell optimis
akan kemampuan anak untuk berkembang, namun ia sadar bahwa perkembangan itu
tidak bersifat otomatis, harus ada pendampingan. “Pertumbuhan itu melibatkan
orang tua dan anak dalam pergumulan melawan hal-hal yang jahat. Karena itu, PAK
menuntut bimbingan yang kreatif dan teratur dari pihak orang tua dan jemaat
serta adanya kerelaan belajar dari pihak anak.”
b. Orang tua. Hakekat orang tua sebagai
pelajar dilihat dari sudut pandang, (1) “mereka adalah orang yang terbelenggu
oleh dosa dan tidak selayaknya menjadi orang tua,” dan (2) “mereka adalah orang
yang dapat dipersiapkan menjadi orang tua yang lebih mampu guna memenuhi
panggilan yang mulia sebagai orang tua Kristen.” Hakekat seperti ini
mengisyaratkan betapa pentingnya persiapan calon suami istri sebelum menikah.
c.
Warga
jemaat dewasa. Dalam pandangan Bushnell, warga jemaat (termasuk warga jemaat
dewasa) harus terbuka untuk terus belajar. Sehubungan dengan itu Bushnell
menyatakan: “warga jemaat dewasa, entah muda atau lebih tua, sebagai murid
Yesus Kristus, dan karena itu mereka adalah orang yang membuka diri terhadap
pengalaman belajar.”
6. Kurikulum
a.
Kurikulum
bagi anak-anak, meliputi:
1)
Mengendalikan
tubuh, yakni berkaitan dengan penanaman dasar-dasar pola hidup yang teratur
melalui pembiasaan untuk membentuk perilaku-perilaku positif yang memiliki
dimensi rohani.
2)
Perkembangan
kesalehan, berkaitan dengan keteladanan dan model yang dilihat langsung oleh
anak, antara lain: (a) Orang tua harus mampu mengendalikan diri ketika mengajar
anak-anak, (b) Jangan terlalu banyak melarang, (c) Jauhkan diri dari kekerasan
terhadap anak, (d) Hargai prestasi anak dan perlihatkan kegembiraan seperti
yang dirasakan anak, (e) Jika harus menghukum anak lakukanlah secara
proporsional, (f) Sebelum mengatakan anak bersalah orang tua harus berusaha
lebih dahulu memperoleh informasi yang benar, (f) Jangan menunjukkan perasaan
khawatir yang berlebihan terhadap anak, (g) Perlakukan anak sesuai dengan
usianya.
3)
Keanggotaan
dalam jemaat, meliputi pengembangan liturgi khusus, kesempatan untuk mengambil
bagian dalam kebaktian pagi, penyediaan bahan cetak yang berisi panduan untuk
orang tua dan jemaat guna mendidik anak dalam iman Kristen. Untuk anak-anak
muda kurikulum mencakup cerita-cerita dari Alkitab, nyanyian rohani yang
sederhana, doa-doa, Dasa Titah, Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, arti
Sakramen, Hari Minggu, dan hari raya lainnya yang disesuaikan dengan minat dan
kemampuan anak
b.
Kurikulum
bagi orang tua, meliputi: “… pengetahuan, pengertian, dan keterampilan tentang
tiga pokok utama, yakni dampak kelakuan mereka atas perkembangan rohani
anaknya, cara mengembangkan rumah tangga yang sehat, saleh dan berbahagia, dan
pokok-pokok iman Kristen itu sendiri.”
c.
Kurikulum
bagi warga jemaat, meliputi: “… bahan-bahan yang menolong orang dewasa untuk
menelaah peristilahan yang orang-orang Kristen cenderung pakai dalam
mengkomunikasikan iman.”
D. Analislis/Kesimpulan
1. Kelebihan
a. Horace Bushnell adalah seorang
pendeta, teolog, pengarang, pendidik, dan pemikir yang memiliki pandangan jauh
ke depan (melewati zamannya), sehingga warisan pemikirannya masih relevan
hingga sekarang.
b. Kepekaan dan kepeduliannya terhadap
masalah-masalah sosial membuktikan bahwa ia seorang yang berpandangan holistik
yang tidak hanya memikirkan jemaatnya sebagai warga gereja, tetapi juga sebagai
warga masyarakat.
c.
Rasa
tanggung jawabnya terhadap perkembangan gereja di masa yang akan datang nampak
dari keseriusannya memikirkan PAK yang ia tuangkan dalam buku Christian
Nurture. Namun demikian, ia tidak hanya memikirkan pendidikan anak-anak, tetapi
juga orang tua, dan warga jemaat. Dapat dikatakan Bushnell adalah seorang
penganjur life-long learning. Buku Christian Nurture ditulis dengan sangat
cermat dan sistematis dengan pembahasan yang sangat mendasar sehingga menjadi
buku PAK yang paling berpengaruh pada abad ke-19 di Amerika.
d. Bushnell sangat menyadari bahwa untuk
membangun kehidupan jemaat yang kokoh, pendidikan di dalam keluarga harus
mendapat perhatian yang sungguh-sungguh, karena itu orang tua harus mendapat
bimbingan dan pelatihan yang memadai agar dapat menjadi pengajar yang handal
bagi anak-anak mereka.
e. Bushnell juga seorang teguh kepada
prinsip-prinsip kebenaran sehingga berani menentang paham-paham teologia yang
menyimpang, meskipun ia harus berhadapan dengan sejumlah tokoh atau jemaat yang
menentangnya.
2. Kelemahan
a. Teologinya tentang bahasa keagamaan
membuat batas-batas antara kebenaran dan ketidakbenaran menjadi kurang tegas,
hal ini bisa menimbulkan kerancuan berpikir di kalangan jemaat.
b. Penggunaan bahasa simbolik dan
figuratif membutuhkan kemampuan tinggi karena bisa menimbulkan salah persepsi
di kalangan jemaat, pendengar, atau pembaca, sementara kebanyakan anggota
jemaat lebih menyukai khotbah yang cenderung apa adanya dan mudah dimengerti.
Referensi:
Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama
Kristen: Dari Yohanes Amos Commenius sampai perkembangan PAK di Indonesia,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010, halaman: 431—503.
Komentar
Posting Komentar