Langsung ke konten utama

Perkawinan Campuran

Pelarangan Terhadap Perkawinan Campur Sebagai Tindakan Permunian
Oleh : Roi MP
Pendahuluan.

Saat ini semua orang sudah menyadari dan mengakui kebenaran ide pluralitas. Ada banyak agama,
suku bangsa, ideologi dll. yang mempunyai hak yang sama untuk hidup dan berkembang
di dunia yang satu ini. Pengakuan ini kemudian melahirkan paham pluralisme.
Paham ini sangat menghargai adanya keberagaman dan berusaha untuk
mempertahankannya sebagai kekayaan yang tidak boleh seorangpun merusaknya demi
kepentingan partikularisme. Tetapi karena kesadaran ini baru muncul pada abad
ke 20 / pertengahan 19, maka tidak heran kalau kita mendapati banyak fakta
sejarah yang menceritakan mengenai tindakan-tindakan partikularisme yang
brutal. Ada banyak sekali laporan mengenai pembataian etnis (misalnya
pembantaian orang Yahudi di Jerman), kelompok ideologi (misalnya pembantaian
PKI oleh pemerintah Orde Baru di Indonesia), kelompok agama (seperti terjadi
pada kerusuhan di Ambon dan Poso) oleh kelompok-kelompok lainnya. Dalam dunia
Perjanjian Lama kita juga mendapati banyak laporan mengenai pembasmian etnis
dan agama. Pelaku utama dalam laporan-laporan Perjanjian Lama itu adalah bangsa
Israel yang memiliki identitas sebagai bangsa pilihan Allah. Bahkan dalam
laporannya, tindakan-tindakan pembasmian itu diklaim sebagai perintah Allah
sendiri.

Dalam terang pluralisme sekarang ini, semua tindakan itu dianggap telah menciderai
kemanusiaan dan penghargaaan akan pluralitas. Oleh karena itu dalam kesadaran
ini, semua tindakan partikularisme brutal seperti di atas dianggap sebagai
tidak benar dan harus dihentikan. Dalam kerangka kritik ideologi, hal di atas
penulis kemukakan sebagai kesadaran akan ideologi yang ada di belakang penulis.
Penulis hidup dalam dunia yang menghargai pluralitas dan dengan demikian secara
subyektif tidak membenarkan adanya tindakan-tindakan pluralitas brutal seperti
dicontohkan di atas. Oleh sebab itu dalam membahas tindakan Erza yang melarang
perkawinan campur seperti dilaporkan dalam teks Ezr. 9 dan 10 ada kemungkinan
sangat dipengaruhi oleh subyektifitas penulis yang pro pluralitas.


Deskripsi Historis.

Ezra termasuk dalam kelompok orang Yahudi yang dibuang ke Babel. Tetapi pada tahun 458 sM. Ezra memimpin orang-orang Yahudi yang dibuang ke Babel kembali ke Yerusalem. Ini adalah gelombang kepulangan yang kedua.[1]
Jadi di Yerusalem sendiri sudah ada kelompok orang Yahudi pembuangan yang tinggal
di sana. Mereka adalah orang-orang buangan yang kembali pertamakali. Dari
laporan kitab Ezra, kita tahu bahwa ternyata orang Yahudi yang kembali
pertamakali itu telah melakukan perkawinan campur dengan bangsa-bangsa
disekitar mereka yaitu dengan orang kanaan, orang Het, orang Feris, orang Yebus, orang Amon, orang Moab, orang Mesir, dan orang amori (9:1). Ezra yang datang ke Yerusalem dengan misi memulihkan dan menegakkan kembali agama dan kepercayaan Yahudi menjadi sangat marah akan praktek-praktek itu. Misi itu sendiri diperkuat dengan kuasa dari pemerintah persia, yang mengijinkan Ezra untuk melakukan apa saja agar
kepercayaan Yahudi bisa tegak kembali.
Bahkan Ezra diberikan kuasa untuk menjatuhkan hukuman mati bagi orang Yahudi yang
membangkang (7:26). Karena kuasa yang dimiliki Ezra begitu besar, maka tidak
ada jalan lain bagi orang-orang Yahudi kecuali menuruti perintahnya. Sehingga
ketika akhirnya Ezra menyuruh orang-orang Yahudi yang telah kawin dengan
perempuan-perempuan dari bangsa lain, supaya mengusir istri-istri mereka beserta
dengan anak-anak mereka sekaligus, mereka tidak dapat menolaknya(10:44).

Dari teks ini kita juga mendapatkan laporan bahwa yang melakukan perkawinan campur itu bukan hanya masyarakat awam melainkan juga dari kelompok imam, dan orang Lewi (9:1). Mengapa mereka melakukan itu? Menurut Herrmann, khususnya bagi kalangan atas (para imam) perkawinan campur itu mereka lakukan sebagai trik politik untuk
memperkuat kedudukan politis mereka di tengah-tengah bangsa Israel sendiri dan
juga di tengah-tengah bangsa sekitar mereka.[2] Tindakan politis yang sama sebenarnya telah dilakukan oleh Salomo pada masa pra-pembuangan. Oleh karena itu ada kemungkinan perkawinan campur yang mereka lakukan sebenarnya terinspirasi oleh
trik politik Salomo di atas. Di samping itu, mengingat bahwa yang melakukan hal
ini bukan hanya dari kelompok awam –yang seringkali dituduh kurang memperhatikan
agama-, melainkan juga dari kelompok imam dan orang Lewi menunjukakan bahwa
pada sebenarnya mereka tidak memiliki keberatan teologis untuk tindakannya
tersebut. Pada masa-masa sesudahnya, tindakan-tindakan seperti ini dilakukan
oleh orang-orang Saduki. Mereka demi kedudukan politis rela untuk bekerjasama
dengan pemerintah Roma yang menjajah, sembari menciptakan argumentasi teologis
untuk melegitimasi tindakan mereka tersebut.

Berbagai Motif dan Alasan
Pada kenyataannya Ezra datang dengan pandangan dan pikiran baru mengenai apa/ bagaimana itu percaya kepada YHWH. Ezra datang dengan membawa desain agama yang berbeda dengan yang dimiliki oleh orang-orang Yahudi yang lebih dahulu pulang ke Yerusalem tersebut. Pertanyaan yang muncul di sini kemudian adalah “mengapa Ezra
melakukan tindakan pemurnian terhadap orang Yahudi?” “adalah motif-motif
tertentu dibelakang semua tindakannya itu?”

Pertanyaan-pertanyaan
di atas akan diajukan bukan hanya kepada penulis kitab Ezra, tetapi juga kepada
tokoh Ezra sendiri sebagai pelaku historis. Jadi pada pokoknya tulisan ini
ingin mengungkap motif-motif dibelakang semua orang yang waktu itu menyetujui
dan bahkan mempraktekkan pemurnian etnis Yahudi seperti yang terlihat dalam
teks, baik itu tokoh Ezra sendiri,
penulis teks dan orang-orang lain di belakang mereka.

motif ekonomi
faktor ekonomi
dalam banyak peristiwa selalu menjadi salah satu motif kuat bagi tindkan
seseorang. Bukan hanya di dunia kuno, tetapi juga di dunia modern kebenaran
pendapat ini jarang dipertanyakan orang. Dari tindakan-tindakan yang paling
halus seperti dalam kampanye simpatik partai-partai politik samapai dengan
tindakan-tindakan brutal seperti perang dan pembunuhan bila dirunut ke akarnya
memang biasanya muncul dari kepentingan ekonomi dari para pelakunya. Kalau
demikian, apakah hal ini yang sebenarnya terjadi pada peristiwa pelarangan
kawin campur di atas?

Memang dalam suatu
negara keimaman, dimana para imam secara otomatis memegang puncak kekuasaan,
secara pasti mereka akan mendapatkan keuntungan ekonomi yang sangat besar. Dan
di sini kita tahu dengan pasti bahwa Ezra adalah seorang imam. Jadi memang
secara otomatis Ezra dan kalangannya akan mendapatkan keuntungan ekonomi yang
besar dalam suatu kerajaan imam yang berusaha ia tegakkan itu. Tindakan
pemurnian itu sendiri dapat dipandang sebagai usaha usaha untuk membangun
kerajaan imam, karena kerajaan itu hanya akan benar-benar efektif bila seluruh
bangsa tunduk seratus persen kepada otoritas para imam. Dan praktek-praktek
seperti kawin campur dipandang sebagai ancaman terhadap kesetiaan itu.

Dari sisi yang
lain, ada kemungkinan bahwa golongan imam yang terbiasa mendapatkan hak isimewa
pada jaman pra pembuangan memang kurang berhasil secara ekonomi dalam situasi
yang penuh persaiangan di pembuangan Babel. Seperti dikatakan Anderson, di Babel
orang Israel diberikan kebebasan untuk menentukan hidup mereka sendiri dalam
batas tertentu. Mereka diperbolehkan tinggal secara berkelompok (atau
menyebar), tinggal di dalam atau di luar kota, hidup menurut adat istiadat
mereka sendiri serta dibebaskan untuk berpartisipasi secara ekonomi.[3]
Ada banyak orang Yahudi yang akhirnya sukses secara ekonomi dan menjadi kaya di
tanah pembuangan itu, tetapi menurut penulis kemungkinan besar mereka tentulah
bukan dari golongan imam yang terbiasa dengan hak istimewa di atas. Dan di
samping itu, di pembuangan para imam justru sangat berkonsentrasi pada soal-soal
teologis berkaitan dengan pembuangan yang mereka alami.[4]
Para imam yang pada masa pra pembuangan secara ekonomi termasuk kelas menengah
dan atas menjadi kelompok miskin pada masa pembuangan (tentu ini tidak termasuk
para imam yang dekat dengan kekuasaan seperti Ezra misalnya). Kenyataan ini
tentu membuat ide kerajaan imam menjadi impian indah bagi kalangan imam yang
tidak berhasil dan stress. Kerajaan imam akan memulihkan kedudukan mereka
kembali. Mereka akan kembali dapat menikmati berbagai keuntungan ekonomi dan
sosial lainnya tanpa harus bekerja keras seperti di tanah pembuangan. Dari kaca
mata ini penulis berpendapat bahwa motifasi ekonomi memang menjadi salah satu
faktor tindakan pemurnian di atas.

Motif teologis
Kalau kita
berangkat dari teks sendiri, maka secara eksplisit tidak ada motifasi ekonomi
seperti yang diuraikan di atas. Tetapi di sisi lain motifasi teologis bergaung
sangat kuat. Perkawianan campur itu dipandang sebagai dosa terhadap Yahwe dan
dengan demikian harus dilarang secara tegas (9:3-9). Mengingat bahwa yang
melakukan kawin campur itu adalah orang buangan yang kembali pertama kali, yang
juga meliputi orang lewi dan para imam maka ada kemungkinan bahwa di antara
kelompok ini secara teologis perkawinan campur tidak dianggap sebagai dosa.[5]
Oleh sebab itu di sini kita layak bertanya “ mengapa oleh Ezra dkk. perkawinan
campur dianggap sebagai dosa?”

Berbeda dari
pengalaman “pembuangan” di Mesir yang mengakibatkan lunturnya kepercayaan orang
Israel kepada Yahwe, pengalaman pembuangan ke Babel justru berakibat sebaliknya[6].
Di Babel justru orang Yahudi berhasil menyatukan iman seluruh bangsa yang
diorientasikan pada tanah Palestina sebagai warisan yang diberikan Allah dan
Bait Allah di Yerusalem sebagai satu-satunya tempat Yahwe bersemayam. Dalam kerangka
teologi seperti ini mereka merasa menderita tinggal di Babel karena tidak dapat
menyembah Allah mereka di tempatNya sendiri.[7]
Hal ini selain membuat mereka tidak bisa survive di Babel karena terus
mengarahkan padangan ke Yerusalem, juga membuat mereka semakin esklusif
terhadap bangsa-bangsa lain. Dalam pandangan mereka, bangsa Babel adalah
anak-anak dari dewa kafir yang sungguh berbeda dari diri mereka sendiri sebagai
anak-anak Yahwe Allah yang sejati. Dokumentasi teologis mereka yang paling
jelas adalah kitab Ulangan dalam Perjanjian Lama. Dalam teologi kitab Ulangan,
pembuangan ke Babel dipandang sebagai konsekuensi logis dari ketidakpatuhan
orang Yahudi dalam menjalankan perintah-perintah Yahwe seperti yang tertulis
dalam kitab taurat.[8] Bahkan Noth lebih tegas
mengatakan bahwa satu-satunya fungsi dari hitoriografi kitab Ulangan adalah
untuk menjelaskan sebab-sebab kejatuhan Yerusalem dan perusakan Bait Allah
sebagai akibat dari ketidaktaan umat kepada Yahwe.[9]
Selain itu, berhubungan dengan iman
diorientasikan ke tanah perjanjian, kitab Ulangan juga sangat menekankan
pentingnya arti tanah perjanjian bagi identitas mereka sebagai umat pilihan.

Nampaknya Ezra
adalah bagian dari kelompok di atas. Ezra adalah seorang imam yang kemungkinan
besar memiliki hubungan yang sangat dekat dengan kelompok Deuteronomi di atas.
Selain itu Ezra juga memiliki pandangan yang sama mengenai sebab-sebab
pembuangan ke Babel. Jadi kelompok ini melihat pembuangan bukan sebagai
kesempatan untuk lebih maju dengan dunia baru yang penuh peluang seperti yang
dilakukan beberapa orang Yahudi yang akhirnya sukses secara ekonomi itu, tetapi
sebaliknya pembuangan dilihat sebagai penderitaan yang harus segera diakhiri.
Dan penderitaan ini merupakan hukuman Yahwe atas dosa-dosa mereka. Oleh sebab
itu mereka memandang kebijakan pemerintah Persia yang mengijinkan mereka pulang
adalah sebagai pengampunan Yahwe atas dosa-dosa mereka. Dan karena Yahwe sudah
mengampuni mereka, maka sedapat mungkin mereka harus berusaha untuk secara
sungguh-sungguh memperbaiki diri mereka di hadapan Tuhan. Yaitu dengan taat dan
setia kepadaNya (9). Dalam pandangan ini perkawinan canpur yang lakukan
orang-orang Yahudi itu dianggap sebagai penghianatan kembali kepada Yahwe yang telah bermurah hati mengampuni mereka. [10]
Dari sisi lain, perkawinan campur itu juga dilihat sebagai faktor perusak
esensi keluarga Yahudi sebagai institusi yang paling penting dan fundamental
dalam melaksanakan berbagai tradisi Yahudi,[11]
serta sebagai ancaman bagi cara hidup Yahudi yang harus selalu partikular.[12]
Oleh karena itu perkawinan campur harus dilarang.

Siapa mereka?

Kalau demikian
siapakah kelompok di balik ide pemurnian orang Yahudi di atas? Menurut penulis
kelompok itu paling tidak harus memenuhi dua syarat di atas, yaitu yang pertama
mereka pastilah suatu kelompok yang akan diuntungkan secara ekonomi dengan
berdirinya kerajaan imam dan yang kedua mereka adalah suatu kelompok yang
memiliki pemahaman teologis yang ekslusif (Yahwe
alone). Serta memahami pembuangan sebagai penghukuman Allah atas dosa-dosa
mereka.
Pada jaman pra pembuangan kelompok yang diuntungkan secara ekonomi dan sosial dalam sistem masyarakat Yahudi yang berfokus pada Bait Allah adalah kelompok imam dan orang lewi. Mereka juga dapat dipandang sebagai yang paling kuat memegang paham Yahwe alone. Tetapi masalahnya, pada masa menjelang kejatuhan Yerusalem kebanyakan dari mereka sama sekali tidak setuju dengan pandangan para nabi yang menyerukan penghukuman kepada Israel.Justru sebaliknya mereka berkeras (seperti Hananya yang menentang Yeremia di Yer. 28) bahwa Tuhan tidak akan pernah menghukum mereka dengan jalan memakai bangsa Babel untuk mengalahkan dan membuang mereka. Terlebih lagi keyakinan teologis ini masih tetap kuat setelah pembuangan orang Yehuda yang pertama
(Yer. 29:24:32). Jadi ada sedikit keberatan untuk menunjuk kelompok ini sebagai
dalang dibelakang program pemurnian di atas.

Kelompok yang
paling mungkin dan logis adalah orang-orang (khususnya para imam) yang sepaham
dengan pendangan para nabi pra pembuangan yang menyerukan kejatuhan Yerusalem.
Selain dari sisi ekonomi dan sosial mereka di untungkan, pemegang paham Yahwe alone yang paling kuat, mereka
juga melihat pembuangan sebagai penghukuman Allah atas ketidaksetiaan Israel.
Namun kesulitannya adalah, pada masa pra pembuangan hambir tidak ada imam yang
sependapat dengan teologi para nabi di atas.

Kalau begitu,
siapakah mereka itu? Menurut penulis, mereka adalah kelompok imam yang memang
pada mulanya tidak setuju dengan pandangan para nabi tetapi yang setelah
pembuangan benar-benar terjadi akhirnya menyadari kebenaran nubuat para nabi
tersebut. Kenyataan pembuangan membuat mereka sadar bahwa Yahwe ternyata memang
tidak segan menghukum umatnya yang tidak setia kepadaNya. Oleh sebab itu ketika
mereka diberikan kesempatan untuk pulang ke Yerusalem oleh pemerintah Persia
(dimana ini sesuai dengan nubuat Yeremia), mereka secara otomatis berpikir
bahwa mereka tidak boleh mengulang kesalahan yang pernah mereka lakukan pada
masa pra pembuangan. Pikiran inilah yang kemudian melahirkan ide pemurnian di
atas.

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan,
penulis berpendapat bahwa tindakan pemurnian (kadang-kadang = pembasmian) etnis
memang seringkali didorong oleh motifasi ekonomi, tetapi dorongan yang lebih
kuat sebenarnya adalah ideologi. Kecemburuan ekonomi dari orang-orang Jerman
kepada orang Yahudi yang sukses memang menjadi salah satu dorongan kuat untuk
menyingkirkan mereka. Tetapi pembunuhan juataan orang Yahudi di Jerman lebih
masuk akal bila dikaitkan dengan ideologi bangsa Arya (rasis) yang dikembangkan
Nazi. Demikian juga pembasmian etnis yang dilakukan oleh orang Israel ketika
memasuki Kanaan juga lebih dekat dengan ideologi mereka sebagai bangsa pilihan
dan ideologi tanah perjanjian dari pada sekedar mofiasi ekonomi.

Demikian pula sama
halnya yang terjadi pada program pemurnian yang dilakukan Ezra terhadap
pelarangan perkawinan campur. Memang ketika orang Yahudi hidup eksklusif –tidak
tercampur dengan bangsa lain- maka posisi keimaman akan sangat aman dan itu
tentu saja menguntungkan golongan imam secara ekonomi. Tetapi menurut penulis,
paham/ ideologi Yahwe Alone sebenarnya
menjadi motifasi yang lebih mendasar. Mereka, seperti layaknya seorang
fundamentalis memikirkan apa yang mereka percayai dan impikan jauh lebih kuat
dari pada sekedar urusan perut belaka.



Daftar pustaka

Anderson,
Benhard W., Understanding the Old Testament
–fourth edition, New Jeresy:
PRENTICE-HALL, 1986.

Herrmann,
Siegfried, A History of Israel in Old
Testament Times, London: SCM Press Ltd. 1975.

Mayes, Andrew.
D.H., dalam Albert de pury (ed.), Israel
Constructs Its History – Deutoronomistic Historiography in Recent Research, England:
Sheffield Academic Press Ltd. 2000.

Manson, Rex, Preaching the Tradition, New York:
Cambridge university Press, 1990.

Williamson,
H.G.M., Israel in the Book of Chronicles,
London: Cambridge University Press, 1977

[1] Benhard W.Anderson, Understanding
the Old Testament –fourth edition, New Jeresy: PRENTICE-HALL, 1986. hal. 527
[2] Siegfried Herrmann, A History of
Israel in Old Testament Times, London: SCM Press Ltd. 1975. hal. 308
[3] Benhard W.Anderson, Understanding
the Old Testament –fourth edition, hal. 446
[4] hal ini terlihat dari banyaknya karangan teologis yang muncul pada
jaman pembuangan seperti kitab ulangan, Tawarikh dll.
[5] mungkin kitab-kitab seperti Ester dan Rut merupakan dokumen-dokumen
teologis dari kelompok-kelompok yang menganggap bahwa perkawinan campur tidak
selalu berarti suatu tindakan tidak sertia terhadap Yahwe. Kitab Ester sendiri
ingin mengatakan kepada pembacanya bahwa sebenarnya Israel pernah diselamatkan
melalui perkawinan campur, sedangkan kitab Rut ingin mengatakan bahwa pemimpin
yang paling agung di Israel, Daud sebenarnya adalah hasil dari perkawinan
campur juga. Berbeda lagi dengan penulis kitab Tawarikh, yang walaupun tidak
setuju (takut) dengan perkawinan campur tetapi tetap mengakui bahwa perkawinan
campur pernah dilakukan oleh bapa lelur yang paling mereka hormati. Ini membuat
mereka tidak sampai mengambil keputusan ekstrim seperti yang dilakukan oleh
Ezra. Lih. H.G.M. Williamson, Israel in
the Book of Chronicles, London: Cambridge University Press, 1977. hal. 61
[6] Benhard W.Anderson, Understanding
the Old Testament –fourth edition, hal. 449
[7] ini adalah teologi kaum imam. Benhard W.Anderson, Understanding the Old Testament –fourth edition, hal. 447
[8] Andrew. D.H. Mayes dalam Albert de pury (ed.), Israel Constructs Its History – Deutoronomistic Historiography in
Recent Research, England: Sheffield Academic Press Ltd. 2000. hal. 447
[9] Andrew. D.H. Mayes dalam Albert de pury (ed.), Israel Constructs Its History – Deutoronomistic Historiography in
Recent Research, hal. 428
[10] Rex Manson, Preaching the
Tradition, New York: Cambridge university Press, 1990. hal. 161
[11] Benhard W.Anderson, Understanding
the Old Testament –fourth edition, hal. 527
[12] Siegfried Herrmann, A History of
Israel in Old Testament Times, hal. 307

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PAK Dalam Perjanjian Lama

Menjadi sebuah hal yang menarik adalah ketika muncul sebuah pertanyaan, seberapa pentingkah Perjanjian Lama dalam ruang lingkup Pendidikan Agama Kristen (PAK)? Mungkin pertanyaan ini kita anggap sambil lalu, atau tidak terlalu penting, atau memang kita belum mengetahuinya. Mungkin ada yang mengatakan bahwa Perjanjian Lama (PL) tidak terlalu penting karena PL sudah berlalu dan sudah digenapi oleh Perjanjian Baru (PB), atau PB telah menjelaskan tentang pendidikan kekristenan. Apabila kita mempelajari dengan baik, Yesus Kristus menggunakan PL dalam mengajar di pelayanan-Nya (Mat.5:21-22; 22:39)? Para murid Yesus juga menggunakan PL dalam pelayanan (pemberitaan Injil)? Ternyata PL menjadi hal penting dalam membangun konsep dan pelaksanaan PAK. Pada topik ini, saya tidak menggunakan kata “PAK dalam Perjanjian Lama”, tetapi saya lebih menggunakan kata “PL dalam PAK”. Ya, karena bukan PAK yang ada dalam Perjanjian Lama, tetapi Perjanjian Lama-lah yang ada dalam PAK. Dengan kata lain, hal yan

SEJARAH PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

BAB I .  DASAR PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN PADA MASA KUNO Gereja purba bukanlah penemu pendidikan agama, adalah lebih tepat untuk mengatakan bahwa gereja adalah hasil pendidikan itu. Pendidikan khususnya sejak awal sama dengan pikiran dan prakteknnya selama masa Abad Pertengahan berakar baik dalam Kebudayaan – Yunani - Romawi maupu Yahudi. Dari yang pertama itu yaitu melalui pendekatan Sokrates, misalnya, para pendidik Kristen belajar bagaimana menjernihkan pemikiran melalui seri pertanyaan yang semakin mendalam. Kemudian, pikiran salah seorang muridnya yang bernama Plato dimanfaatkan para pemimpin Kristen untuk menyoroti intisari pendidikan sebagai proses mengantar orang untuk meninggalkan perasaan aman mereka yang berporos dunia bayang-bayang agar bertindak sesuai dengan dunia nyata. Jadi sebagian pendidikan berarti memeriksa kembali pandangan yang lazimnya ditolaknya kalau memang data baru itu menuntut berbuat demikian. Murid Plato paling termasyur yang b

SOAL PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN SD YPK ELIDA MEDAN

KELAS : I Pilihan Ganda! 1. Manusia adalah ciptaan ... a. Presiden b. Tuhan c. Hewan 2. Untuk menerangi bumi, Tuhan menciptakan … a. Matahari b. Bola lampu c. Lilin 3. Pada mulanya, Allah menciptakan … a. Bulan b. Langit dan Bumi c. Matahari 4. Menyayangi tanaman dan hewan adalah ucapan syukur kita terhadap ciptaan … a. Manusia b. Hewan c. Tuhan 5. Manusia pertama yang diciptakan Tuhan adalah … a. Kain b. Adam c. Habel Isian! 1. Allah menciptakan langit dan bumi dan segala … 2. Allah menciptakan dari yang tidak ada menjadi … 3. Ikan adalah ciptaan Tuhan yang hidup di … 1. Manusia Tidak Dapat Hidup Sendiri, Tetapi Membutuhkan … a. Orang Lain b. Senjata c. Mesin 2. Di Sekolah Kita Harus Mempunyai Banyak … a. Teman b. Musuh c. Adik 3. Setiap Orang Yang Menderita Harus … a. Ditolong b. Dibiarkan c. Dimusuhi 4. Dalam Alkitab Daud Bersahabat Adalah Dengan … a. Samuel b. Yonatan c. Natanael 5. Ayah Yonatan A