BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan bangsa suatu negara. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik, diwujudkan dengan adanya interaksi belajar mengajar atau proses pembelajaran. Dalam konteks penyelenggaraan ini, guru dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dan berpedoman pada seperangkat aturan dan rencana tentang pendidikan yang dikemas dalam bentuk kurikulum.
Kurikulum secara berkelanjutan disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan berorientasi pada kemajuan sistem pendidikan nasional, tampaknya belum dapat direalisasikan secara maksimal. Salah satu masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah lemahnya proses pembelajaran.
Dalam kegiatan belajar, masalah yang dihadapi seorang siswa cukup kompleks. Artinya, dalam belajar dipengaruhi oleh bermacam-macam hal yang saling berkaitan. Proses belajar yang dilakukan seseorang pasti akan menunjukkkan gejala/proses dan hasil belajar yang berbeda-beda. Perbedaan ini bersumber pada kenyataan bahwa manusia berbeda kemampuan dalam memahami sesuatu. Jadi, sukses seseorang dalam belajar merupakan gabungan dari kesanggupannya bedasarkan potensi yang ada dalam dirinya untuk memahami sesuatu, pelajaran yang selaras, strategi dan metode belajar mengajar serta model pembelajaran yang baik.
Pernyataan senada juga disampaikan oleh Gagne yang dikutip dalam Zachri, yaitu sesungguhnya banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Faktor-faktor tersebut dibedakan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri siswa, yang meliputi: bakat, minat, motivasi, sikap, gaya belajar dan lain-lain. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri siswa, yang meliputi: metode dalam mengajar, alat evaluasi, lingkungan belajar, media pengajaran, model pembelajaran, dan lain-lain.
Dalam sistem pendidikan kita, seorang guru tidak saja dituntut sebagai pengajar yang bertugas menyampaikan materi pelajaran tertentu tetapi juga harus dapat berperan sebagai pendidik. Hal ini juga berarti bahwa dalam upaya mencapai hasil belajar yang optimal, guru (tenaga pendidik) dituntut untuk memilih strategi, metode dan model mengajar yang paling sesuai dengan karakteristik siswa, materi pembelajaran dan penerapan model pembelajaran yang mampu merangsang minat belajar siswa. Namun, kenyataannya pelaksanaan memilih model pembelajaran masih berpola pada paradigma pembelajaran yang teacher centered, dan belum pada student centered yang sesuai dengan tuntutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Berdasarkan pengamatan riil di lapangan, proses pembelajaran di sekolah dewasa ini kurang meningkatkan motivasi siswa, terutama dalam pembelajaran Pendidikan Agama Kristen (PAK). Masih banyak tenaga pendidik agama Kristen (Guru PAK) yang menggunakan metode konvensional dengan menggunakan model pembelajaran secara secara monoton dalam kegiatan pembelajaran di kelas, sehingga suasana belajar terkesan kaku dan didominasi oleh sang guru.
Proses pembelajaran yang dilakukan oleh banyak tenaga pendidik saat ini cenderung pada pencapaian target materi kurikulum, lebih mementingkan pada penghafalan konsep bukan pada pemahaman. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan pembelajaran di dalam kelas yang selalu didominasi oleh guru. Dalam model pembelajaran tradisional, untuk keberhasilan pembelajaran, guru berusaha melakukan transfer pengetahuan kepada siswa. Dalam transfer pengetahuan itu siswa harus berkonsentrasi dalam mendengarkan penjelasan dan uraian guru sehingga aktivitas belajar yang tercipta seperti yang dikemukakan Anita Lie adalah D3CH (duduk, diam, dengar, catat dan hafal) . Dengan kata lain, dalam penyampaian materi, biasanya tenaga pengajar atau lebih khusus guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) menggunakan metode ceramah, dimana siswa hanya duduk, mencatat, dan mendengarkan apa yang disampaikannya dan sedikit peluang bagi siswa untuk bertanya. Dengan demikian, suasana pembelajaran menjadi tidak kondusif sehingga siswa menjadi pasif, dan tujuan pembelajaran tidak tercapai secara maksimal.
Upaya peningkatan hasil belajar siswa tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dalam hal ini, diperlukan guru kreatif yang dapat membuat pembelajaran menjadi lebih menarik dan disukai oleh peserta didik. Suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat agar siswa dapat memperoleh kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain sehingga pada gilirannya dapat diperoleh hasil belajar yang optimal.
Proses pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut adanya partisipasi aktif dari seluruh siswa. Jadi, kegiatan belajar berpusat pada siswa, guru hanya sebagai motivator dan fasilitator di dalamnya agar suasana kelas lebih hidup.
Dalam kegiatan model pembelajaran kooperatif, suasana yang dimaksudkan dalam tuntutan KTSP di atas dapat diwujudkan. Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang menuntut siswa untuk belajar bekerja sama dalam satu tim atau kelompok. Kelompok ini terdiri dari 4-6 orang. Model pembelajaran ini dapat membuat siswa untuk saling berbagi dan bertanggung jawab dalam memecahkan masalah pembelajaran yang disajikan oleh guru. Selain itu model pembelajaran ini memiliki keunggulan lain, yakni mampu merangsang siswa untuk saling berbagi, yakni antara siswa yang memiliki kemampuan akademik yang rendah dengan siswa yang memiliki kecerdasan tinggi. Sehingga pemahaman siswa dalam menganalis masalah belajar bersifat heterogen. Dengan kata lain pembelajaran kooperatif ini mengutamakan gotong royong antar sesama siswa. Kegiatan pembelajaran koperatif memiliki tahapan (sintaks) sebagai berikut: informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan.
Berdasarkan data yang diperoleh penulis, siswa SMA Kelas XI di Yayasan Pendidikan Kristen GKPI Padang Bulan-Medan selama empat tahun belakangan ini memiliki daftar nilai rata-rata hasil belajar Pendidikan Agama Kristen sebagai berikut:
T. P. 2005/2006 : 85
T. P. 2006/2007 : 75
T. P. 2007/2008 : 85
T. P. 2008/2009 : 80
Dari uraian di atas tampak ada kesenjangan (gap) antara harapan (das sollen) dengan kenyataan (das sein). Dari satu sisi diharapkan agar model pembelajaran yang digunakan oleh guru dapat disesuaikan dengan sajian pokok bahasan (materi pembelajaran). Sehingga hasil belajar siswa dapat lebih baik. Di sisi lain tampak bahwa prestasi hasil belajar masih berfluktuasi. Artinya indeks pencapaian hasil belajar yang dicapai oleh siswa terlihat masih naik turun. Tidak terdapat peningkatan hasil belajar yang linier. Dan hal ini dapat diduga sebagai akibat dari ketidakcocokan model pembelajaran oleh guru. Oleh karena itu penelitian yang dapat mengungkapkan seberapa besar pengaruh model pembelajaran terhadap hasil belajar Pendidikan Agama Kristen (PAK) merupakan masalah yang mendesak untuk diteliti.
B. Batasan Masalah
Berdasar pada latar belakang masalah ternyata permasalahan yang seharusnya dapat dipecahkan melalui penelitian ini ternyata sangat rumit dan kompleks. Berkenaan dengan peraturan pendidikan dan penulisan ilmiah dibenarkan membuat batasan masalah karena ini juga berhubungan dengan terbatasnya kemampuan, waktu, materi dan hal-hal lain yang dibutuhkan dalam penelitian. Dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan dengan mempedomani pengertian yang dikemukakan oleh Surakhmad Winarmo dengan rumusan sebagai berikut: “sebab itu pembatasan masalah perlu memenuhi syarat dalam perumusan yang terbatas. Pembatasan ini bukan saja memudahkan dan menyederhanakan bagi penyelidik tetapi untuk pemecahan tenaga, kesehatan, ongkos, dan lain-lain yang timbul dalam rencana tersebut”.
Bertolak dari latar belakang masalah yang diuraikan penulis sebelumnya dan mengingat karena hal-hal yang berkaitan dengan judul ini juga memiliki permasalahan yang rumit dan kompleks, maka masalah ini dibatasi sebagai berikut:
1. Model Pembelajaran Kooperatif ini dibandingkan dengan Model Pembelajaran konvensional, yakni metode ceramah.
2. Materi pembelajaran yang digunakan sebagai acuan penelitian adalah materi pembelajaran Pendidikan Agama Kristen (PAK) dari bulan Agustus 2009 s/d November 2009 dengan jabaran pencapaian kompetensi sebagai berikut:
• Standar Kompetensi :
Merespon nilai-nilai kristiani yang diperhadapkan dengan gaya hidup modern serta perkembangan IPTEK dan menjelaskan cara mewujudkan dalam hidup keseharian
• Kompetensi Dasar :
- Siswa mampu mengidentifikasikan dan mewujudkan nilai-nilai kristiani di dalam hidupnya
- Siswa mampu mewujudkan nilai-nilai kristiani di dalam pergaulan antar pribadi dan sosial.
• Indikator :
- Mengidentifikasi nilai-nilai kristiani di dalam kehidupan sehari-hari
- Bersikap kritis terhadap norma-norma di dalam masyarakat berdasarkan nilai-nilai kristiani.
- Menggunakan nilai-nilai kristiani sebagai dasar pergaulan antar pribadi dan sosial.
- Mengidentifikasi tantangan dan peluang dalam mewujudkan nilai-nilai kristiani pada pergaulan antar pribadi dan sosial.
3. Populasi dan sampel penelitian ini dibatasi hanya pada siswa kelas XI IPA & IPS SMA T.P 2009/2010.
4. Tempat penelitian ini diadakan di SMA GKPI Jalan Jamin Ginting, Komplek Pamen, Padang Bulan; Medan – Sumatera Utara.
C. Rumusan Masalah
Dengan mempedomani batasan masalah di atas, maka dalam penelitian ini penulis merumuskan masalah sebagai berikut: “Apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar Pendidikan Agama Kristen siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif dengan hasil belajar Pendidikan Agama Kristen siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional pada siswa Kelas XI SMA GKPI Padang Bulan Medan T.P 2009/2010?”
D. Tujuan Penelitian
Oleh karena itu sehubungan latar belakang masalah di atas dan dengan mengacu pada apa yang dikatakan oleh J. Suprapto dalam bukunya, yakni bahwa ”penelitian adalah usaha pengumpulan data dalam rangka pengujian hipotesis yang ditentukannya semula dalam tujuannya yang lain untuk menemukan ide-ide baru dalam membahas atau menganalisa suatu permasalahan”, maka dalam tulisan akhir ini, penulis merumuskan tujuan diadakannya penelitian ini, yakni adalah: ”Untuk mengungkap ada tidaknya perbedaan hasil belajar Pendidikan Agama Kristen siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif dengan hasil belajar Pendidikan Agama Kristen siswa yang menggunakan model konvensional pada siswa kelas XI SMA GKPI Padang Bulan - Medan T.P 2009/2010”.
E. Manfaat Penelitian
Dalam sebuah penelitian, Mely G. Tan dalam Koentjaraningrat mengatakan bahwa: ”selain membangun perencanan, menetapkan tujuan penelitian, seorang peneliti juga harus melihat manfaat diadakannya penelitian”. Pendapat sejajar juga diungkapkan oleh Wahyu Muhammad dan Masduki M.S dalam bukunya bahwa dalam sebuah penelitian yang dilakukan harus dirumuskan secara tegas seberapa jauh penelitian itu bermanfaat bagi perkembangan suatu ilmu secara teoritis dan bagi kegunaan praktisnya.
Sehubungan dengan pendapat yang diuraikan di atas dan mengacu pada persoalan yang diungkapkan dalam latar belakang masalah di atas, dalam tulisan akhir ini penulis merumuskan manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian, yakni:
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai sumbangan teoritis bagi pembaca untuk memberikan informasi tentang pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif terhadap hasil belajar Pendidikan Agama Kristen di sekolah.
b. Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti selanjutnya dalam bidang pengaruh model pembelajaran kooperatif terhadap hasil belajar Pendidikan Agama Kristen siswa.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi pembaca (Sekolah tempat diadakannya penelitian yang berhubungan dengan judul skripsi ini, yakni Yayasan Pendidikan Kristen GKPI Padang Bulan, lembaga/ institusi akademi, yakni Institut Agama Kristen Protestan Sumatera Utara, dan kepada Departemen Agama sebagai naungan institusi pendidikan tinggi teologia) untuk memberikan informasi bahwa model pembelajaran kooperatif dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen dapat berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar siswa.
b. Dengan adanya informasi dari penelitian ini, diharapkan dapat memacu peneliti berikutnya yang lebih kreatif, khususnya yang berhubungan dengan upaya peningkatan hasil belajar siswa.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mengetahui gambaran keseluruhan isi dari pada Karya Ilmiah/ Skripsi ini, maka penulis menyajikan sistematika penulisan yang dirangkai bab demi bab dengan pemaparan sebagai berikut:
BAB I : Menyajikan pendahuluan yang memaparkan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat diadakannya penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Membahas tentang landasan teoritis, landasan berpikir, dan hipotesis yang mendasari pembatasan masalah yang diuraikan dalam karya ilmiah ini.
BAB III : Membahas tentang analisis dan perancang sistem: tempat dan waktu diadakannya penelitian, metode yang digunakan dalam proses
penelitian, jumlah populasi dan sampel, serta teknik sampling, alat/
instrumen, uji persyaratan dan analisis, maupun teknik analisis data.
BAB IV : Menguraikan hasil dari penelitian yang berisi data dan pengujian
hipotesis serta pembahasan hasil penelitian.
BAB V : Menyajikan tentang kesimpulan dari penelitian dan saran-saran kepada pembaca karya tulis ini.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
1. Pengertian
1. 1. Model
Menurut Wikipedia Indonesia, model adalah rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep, yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi. Bentuknya dapat berupa model fisik (maket, bentuk prototipe), model citra (gambar rancangan, citra komputer), atau rumusan matematis. Hal ini berarti bahwa model adalah suatu gambaran dari keadaan yang sebenarnya.
Dalam rumusan Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan, dikatakan bahwa model adalah pola (contoh, acuan, ragam) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan. Hal ini berarti bahwa model adalah gambaran dari sesuatu yang akan dibuat.
Selanjutnya, Simarmata dalam Mohammad Nasir, menyebutkan definisi lain dari model adalah ”abstraksi dari sistem sebenarnya, dalam gambaran yang lebih sederhana serta mempunyai tingkat presentase yang bersifat menyeluruh, atau model adalah abstraksi dari realitas dengan hanya memusatkan perhatian pada beberapa sifat dari kehidupan sebenarnya”. Dari pendapat ini dapat diperoleh pengertian bahwa model adalah rancangan atau konsep dari suatu keadaan yang sebenarnya.
Berdasarkan beberapa pengertian yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa model adalah suatu gambaran, konsep dan rancangan dari suatu keadaan yang masih bersifat abstrak sebelum diwujudkan dalam keadaan yang sebenarnya.
1. 2. Pembelajaran
Menurut Poerwadarminta, “pembelajaran merupakan terjemahan dari kata “instruction” yang dalam bahasa Yunani disebut ‘instructus’ atau ‘instruere’ yang berarti menyampaikan pikiran. Dengan demikian arti pembelajaran atau intruksional adalah penyampaian pikiran atau ide yang telah diolah secara bermakna melalui pembelajaran. Dan pengertian ini lebih mengarah kepada guru sebagai pelaku perubahan dalam kegiatan proses belajar mengajar.
Zainal Muttaqien dalam artikelnya yang berjudul “Sebuah Mata Rantai Pembelajaran” mengutip istilah dan pengertian pembelajaran dari Kamus Besar Bahasa Indonesia yang menyebutkan bahwa, pembelajaran yang diidentikkan dengan kata “mengajar” berasal dari kata dasar “ajar” yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (dituruti) ditambah dengan awalan “pe” dan akhiran “an menjadi “pembelajaran”, yang berarti proses, perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan sehingga anak didik mau belajar. Pengertian pembelajaran di sini lebih mengarah kepada tindakan atau usaha yang dilakukan oleh tenaga pengajar untuk membelajarkan si pembelajar, yakni siswa.
Muhammad Surya berpendapat bahwa pembelajaran itu ialah “suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Pengetian ini lebih menekankan kepada murid (individu sebagai pelaku perubahan.
Pamuji menyebutkan bahwa, “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik dengan kata lain pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Menurut Oemar Hamalik, pembelajaran adalah “suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran”. Maka pembelajaran dalam hal ini berarti perpaduan atau kerjasama antara siswa dengan tenaga pengajar, fasilitas atau perangkat belajar maupun lingkungan belajar untuk mencapai tujuan dari kegiatan pembelajaran.
Fransiscus, dalam tulisannya yang dimuat dalam blognya mengatakan bahwa, “pembelajaran merupakan proses komunikatif-interaktif antara sumber belajar, guru, dan siswa yaitu saling bertukar informasi”. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Gagne dan Briggs, seperti yang dikutip oleh Massofa menyebutkan bahwa, “pembelajaran adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal”. Hal ini berarti bahwa pembelajaran yang dimaksud lebih mengarah kepada sistem atau perencanaan yang dilakukan oleh tenaga pengajar.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pengertian ini lebih menekankan kepada hubungan antar peserta belajar dengan sumber belajar.
Sementara itu dalam rumusannya Depdiknas menyebutkan bahwa, “pembelajaran sering dipahami sama dengan proses belajar mengajar dimana di dalamnya ada interaksi guru dan siswa dan antara sesama siswa untuk mencapai suatu tujuan yaitu terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku siswa”.
Dari pendapat-pendapat tentang pembelajaran yang diuraikan di atas, dapat diartikan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dan pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Pembelajaran juga merupakan suatu aktivitas yang dengan sengaja untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk tercapainya suatu tujuan yaitu tercapainya tujuan pendidikan yang termuat dalam kurikulum.
Oleh karena itu dengan berdasar pada penjelasan dari gabungan kedua kata yang telah diuraikan di atas, yakni model dan pembelajaran, akan diperoleh suatu istilah apa yang dikenal dengan sebutan “model pembelajaran”. Model Pembelajaran adalah pola atau acuan yang dibuat dalam suatu kegiatan pembelajaran yang dirancang sedemikian oleh guru sebagai bentuk abstraksi dari sistem yang sebenarnya, yakni sistem pembelajaran di dalam ruangan kelas. Dan model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
1. 3. Kooperatif
Kooperatif berasal dari kata ‘cooperative’ yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Dengan demikian jikalau dihubungkan dengan proses pembelajaran, maka akan diperoleh istilah ‘pembelajaran kooperatif’ atau lebih dikenal dengan istilah cooperative learning yaitu pembelajaran berkelompok yang diselenggarakan sedemikian rupa sehingga tiap-tiap siswa terlibat setiap saat dalam kelompoknya dan siswa dapat bekerjasama dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki.
Slavin dalam tulisan Doantara Yasa mengemukakan bahwa, “pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar. Hal ini berarti bahwa pembelajaran kooperatif, merupakan metode pembelajaran dengan siswa bekerja dalam kelompok yang memiliki kemampuan heterogen.
Anita Lie dalam bukunya menyebut pembelajaran kooperatif dengan istilah pembelajaran gotong royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam tugas-tugas yang terstruktur. Pengertian ini menunjuk kepada pemecahan masalah belajar dan pencapaian hasil belajar yang dilakukan secara bersama-sama.
Kemudian, Djahiri menyebutkan pembelajaran kooperatif sebagai pembelajaran kelompok kooperatif yang menuntut diterapkannya pendekatan belajar yang siswa sentries, humanistic, dan demokratis yang disesuaikan dengan kemampuan siswa dan lingkungan belajarnya. Dengan demikian, maka pembelajaran kooperatif menekankan pendekatan yang dilakukan oleh guru kepada siswa sehingga siswa mampu membelajarkan diri dan kehidupan siswa baik dikelas atau di sekolah. Lingkungan belajarnya juga membina dan meningkatkan serta mengembangkan potensi diri siswa sekaligus memberikan pelatihan hidup senyatanya.
Sedangkan menurut Ratna Megawangi, pembelajaran kooperatif atau cooperative learning adalah sebuah model pembelajaran yang melibatkan siswa bekerja bersama-sama, berhadapan muka dalam bentuk kelompok kecil dan melakukan tugas yang sudah terstruktur. Hal ini berarti bahwa pembelajaran kooperatif lebih mengarah kepada pengertian bukan hanya sekedar kerja kelompok. Tetapi lebih mengutamakan perencanaan dalam membentuk kelompok belajar.
Jadi, dengan dengan memperhatikan beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, pembelajaran kooperatif dapat dirumuskan sebagai kegiatan pembelajaran kelompok yang terarah, terpadu, efektif-efisien, ke arah mencari atau mengkaji sesuatu melalui proses kerjasama dan saling membantu (sharing) antar sesama pembelajar sehingga tercapai proses dan hasil belajar yang produktif (survive). Serta dapat juga dijelaskan bahwa pembelajaran kooperatif mengacu pada metode pengajaran, siswa bekerja bersama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar.
Pembelajaran kooperatif ini bukan bermaksud untuk menggantikan pendekatan kompetitif (persaingan). Nuansa kompetitif dalam kelas akan sangat baik bila diterapkan secara sehat. Pendekatan kooperatif ini adalah sebagai salah satu alternatif dalam mengisi kelemahan kompetisi, yakni hanya sebagian siswa saja yang akan bertambah pintar, sementara yang lainnya semakin tenggelam dalam ketidaktahuannya. Tidak sedikit siswa yang kurang pengetahuan merasa malu bila kekurangannya di-expose. Kadang-kadang motivasi persaingan akan menjadi kurang sehat bila para murid saling menginginkan agar siswa lainnya tidak mampu, katakanlah dalam menjawab soal yang diberikan guru. Sikap mental inilah yang dirasa perlu untuk mengalami perbaikan (improvement).
Sistem pembelajaran kooperatif (pembelajaran gotong royong) merupakan sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Pembelajaran kooperatif dikenal dengan pembelajaran secara berkelompok. Tetapi belajar kooperatif lebih dari sekedar belajar kelompok atau kerja kelompok karena dalam belajar kooperatif ada struktur dorongan atau tugas yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan yang bersifat interdepedensi efektif diantara anggota kelompok. Dari pendapat ini diperoleh pengertian bahwa hubungan kerja seperti itu memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat dilakukan siswa untuk mencapai keberhasilan belajar berdasarkan kemampuan dirinya secara individu dan andil dari anggota kelompok lain selama belajar bersama dalam kelompok.
Pendapat setara menyebutkan bahwa pembelajaran kooperatif dapat digunakan untuk mengajarkan materi yang agak kompleks, membantu mencapai tujuan pembelajaran yang berdimensi sosial, dan hubungan antara manusia. Belajar secara kooperatif dikembangkan berdasarkan teori belajar kognitif konstruktivis dan teori belajar sosial. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa model pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan secara asal-asalan, yakni terencana, terstruktur dan sistematis. Sehingga apabila pelaksanaan prosedur model pembelajaran kooperatif dilakukan dengan benar, maka akan memungkinkan pendidik (guru) akan mampu mengelola kelas belajar dengan efektif dan memberi peluang kepada siswa untuk meningkatkan hasil belajarnya.
Dengan demikian, berdasarkan pendapat-pendapat yang diuraikan di atas, penulis menyimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang dirancang oleh tenaga pengajar dengan sistem pengelompokan para peserta belajar dengan tujuan bahwa sipembelajar akan mampu memacu keberhasilan setiap individu melalui kelompoknya dan lebih mengutamakan sifat bekerja sama sehingga siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka sehidup sepenanggungan bersama, bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya seperti milik mereka sendiri, harus melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan sama, dan siswa harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya.
Selanjutnya, apabila dikondisikan dengan ruang lingkup/ lingkungan Pendidikan Agama Kristen, maka pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang memiliki tujuan untuk meningkatkan sifat kerja sama di antara sesama individu pembelajar. Hal itu merupakan wujud dari pernyataan kasih yang dimanifestasikan oleh Kristus sebagai Guru Agung (Yoh 13: 13) yang mengajar untuk membawa mereka datang kepada Allah (Luk 13: 13; Yoh 3: 3), membangkitkan motivasi mereka untuk saling menghargai orang lain (Markus 12: 30-31), serta meningkatkan relasi persaudaraan dengan yang lain (Matius 23: 8) dan menghargai tradisi dan norma yang berlaku di tengah-tengah lingkungannya (Matius 5: 21, 27, 31, 38, 43).
2. Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Pada dasarnya model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting seperti yang dirangkum Muslimin Ibrahim dengan rangkuman sebagai berikut:
Hasil belajar akademik. Dalam pembelajaran kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan, baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
Penerimaan terhadap perbedaan individu. Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas social, kemampuan dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
Pengembangan keterampilan sosial. Tujuan ketiga pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerjasama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial penting dimiliki siswa, sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.
Sedangkan menurut Depdiknas tujuan pembelajaran kooperatif, yaitu:
Tujuan pertama meningkatkan hasil akademik, dengan meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademiknya. Siswa yang lebih mampu akan menjadi nara sumber bagi siswa yang kurang mampu, yang memiliki orientasi dan bahasa yang sama. Sedangkan tujuan yang kedua, pembelajaran kooperatif memberi peluang agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai perbedaan latar belajar. Perbedaan tersebut antara lain perbedaan suku, agama, kemampuan akademik, dan tingkat sosial. Tujuan penting ketiga dari pembelajaran kooperatif ialah untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Keterampilan sosial yang dimaksud antara lain, berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, memancing teman untuk bertanya, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok dan sebagainya.
Berdasarkan kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam meningkatkan hasil belajarnya, menjalin kerja sama antar sesama dan lingkungan belajarnya serta meningkatkan ketrampilan siswa dalam menuangkan pendapat atau buah pikirannya di hadapan lingkungan belajarnya.
3. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif berbeda dengan model pembelajaran yang lain. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari proses pembelajaran yang lebih menekankan kepada proses kerjasama dalam kelompok. Adapun karakteristik dari pembelajaran kooperatif adalah :
Pembelajaran secara tim
Didasarkan pada manajemen kooperatif
Kemauan untuk bekerja sama
Keterampilan bekerja sama
4. Ciri-Ciri Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Arends dalam blog Anwar Holil, pembelajaran yang menggunakan model kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menyelesaikan materi belajar,
Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah,
Jika mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda-beda,
Penghargaan lebih berorientasi pada kelompok dari pada individu.
5. Prosedur Pembelajaran Kooperatif
Prosedur pembelajaran kooperatif pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu : penjelasan materi, belajar dalam kelompok, penilaian dan pengakuan tim.
Penjelasan Materi
Penjelasan diartikan sebagai proses penyampaian pokok-pokok materi pelajaran sebelum siswa belajar dalam kelompok. Tujuan utama dalam tahap ini adalah pemahamam siswa terhadap pokok materi pelajaran. Pada tahap ini guru memberikan gambaran umum tentang materi pelajaran yang harus dikuasai yang selanjutnya siswa akan memperdalam materi dalam pembelajaran kelompok (tim).
Belajar dalam Kelompok
Setelah guru menjelaskan gambaran umum tentang pokok-pokok materi pelajaran, selanjutnya siswa diminta untuk belajar pada kelompoknya masing-masing yang telah dibentuk sebelumnya. Pengelompokannya bersifat heterogen. Dalam hal kemampuan akademik, kelompok pembelajaran biasanya terdiri dari satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang dengan kemampuan sedang dan satu lainnya dari kelompok kemampuan akademis kurang.
Penilaian
Penilaian bisa dilakukan dengan tes atau kuis yang dilakukan secara individual maupun kelompok.
Pengakuan Tim
Pengakuan tim adalah penetapan tim yang dianggap paling menonjol untuk kemudian diberikan penghargaan atau hadiah. Pengakuan dan pemberian penghargaan tersebut diharapkan dapat memotivasi tim untuk terus berprestasi dan juga membangkitkan motivasi tim lain untuk lebih mampu meningkatkan prestasi mereka.
6. Macam-macam Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Arends dalam Anita Lie, secara umum ada empat macam model pembelajaran kooperatif. Keempat model pembelajaran tersebut ialah, “Tim Siswa Kelompok Prestasi atau Student Teams Achievement Division (STAD), Tim Investigasi Kelompok (Group Investigation), Tim Ahli (Jigsaw), dan Pendekatan Struktur (Structural Approach)”. Akan tetapi pada dasarnya keempat macam-macam model pembelajaran yang diuraikan di atas memiliki ciri dan langkah-langkah pembelajaran yang sama. Sedangkan yang membedakannya adalah jenis pembagian individu siswa ke dalam kelompok masing-masing kelas sehingga terlihat bahwa setiap kelompok terdiri dari komunitas heterogen. Kemudian yang membedakannya adalah media yang digunakan ketika pembelajaran sedang berlangsung.
7. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif
Setiap model pembelajaran pasti memiliki kelebihan dan kelemahan, termasuk model pembelajaran kooperatif karena tidak ada yang paling tepat untuk dipakai pada semua karakteristik siswa, materi, fasilitas dan lain-lain. Adapun kelebihan dan kelemahan model pembelajaran kooperatif seperti yang dikemukakan oleh Rustaman adalah sebagai berikut :
7.1. Kelebihan
a. Tidak terlalu menggantungkan pada guru, akan tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuan berpikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari siswa yang lain.
b. Dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan ide atau gagasan dengan kata-kata secara verbal dan membandingkannya dengan ide-ide orang lain.
c. Dapat membantu anak untuk respek pada orang lain dan menyadari akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan.
d. Membantu memberdayakan setiap siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar.
e. Dapat meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata (riil).
f. Interaksi selama kooperatif berlangsung dapat meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berpikir. Hal ini berguna untuk proses pendidikan jangka panjang.
7.2. Kelemahan
a. Penilaian yang diberikan didasarkan kepada hasil kerja kelompok. Namun demikian, guru perlu menyadari, bahwa sebenarnya hasil atau prestasi yang diharapkan adalah prestasi setiap individu siswa.
b. Keberhasilan model pembelajaran kooperatif dalam upaya mengembangkan kesadaran berkelompok memerlukan periode waktu yang cukup panjang.
c. Walaupun kemampuan bekerjasama merupakan kemampuan yang sangat penting untuk siswa, akan tetapi banyak aktivitas dalam kehidupan yang hanya didasarkan kepada kemampuan secara individual. Oleh karena itu idealnya melalui model pembelajaran kooperatif selain siswa belajar bekerja sama, siswa juga harus belajar bagaimana membangun kepercayaan diri.
8. Langkah- Langkah Pembelajaran Kooperatif
Menurut Ibrahim dalam bukunya dan Muhammad Faiq Dzaki dalam blognya pembelajaran kooperatif dilaksanakan mengikuti tahapan-tahapan sebagai berikut :
a. Menyampaikan tujuan pembelajaran dan perlengkapan pembelajaran.
b. Menyampaikan informasi.
c. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar.
d. Membantu siswa belajar dan bekerja dalam kelompok.
e. Evaluasi atau memberikan umpan balik.
f. Memberikan penghargaan.
Dari urutan langkah-langkah model pembelajaran kooperatif yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan yang harus dilakukan oleh guru adalah sebagai berikut:
a. Tahap Pertama:
Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa untuk belajar.
b. Tahap Kedua:
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demontrasi atau lewat bahan bacaan.
c. Tahap Ketiga
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.
d. Tahap Keempat:
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.
e. Tahap Kelima
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
f. Tahap Keenam
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.
9. Konsep Model Pembelajaran Kooperatif Dalam Alkitab
Konsep pembelajaran kooperatif dalam Alkitab terdapat pada kitab Perjanjian Baru. Dan hal itu dapat diketahui melalui proses pengelompokan dalam pemuridan yang dilakukan oleh Yesus. Pengelompokan dalam pemuridan Yesus berarti adanya sejumlah kelompok dalam pembinaan yang dilakukan oleh Yesus. Dalam Alkitab ada kelompok 2 murid Yesus (Lukas 10: 1), kelompok 12 murid Yesus (Matius 10: 1-15; Markus 3: 13-19; Lukas 6: 12-16), kelompok 70 orang murid Yesus (Lukas 10: 1-16) dan sebagainya hingga pernah melayani 5000 orang laki-laki saja sampai kemalaman dan perut peserta pemuridan mulai lapar (Markus 8: 1-10), Matius 14: 6-30; Lukas 9: 10-17; Yoh 6: 1-13).
Kelompok murid Yesus berarti sekelompok orang yang menempatkan Yesus sebagai guru yang merupakan satu kesatuan orang pengikut Yesus dengan minat yang sama yang bekerja untuk mencapai satu tujuan, belajar kepada Yesus. Yesus bersama kelompok murid-murid yang berjumlah dua belas orang, Yesus melayani individu apakah pria atau wanita, apakah kaya atau miskin, apakah sakit atau sehat, apakah anak-anak atau orang dewasa. Yesus pun melakukan pengutusan dan penugasan para murid berdua-duaan.
Mencermati proses pengelompokan yang dilakukan oleh Yesus di atas, menurut Gangel dalam tulisannya yang berjudul “Apa Yang Dilakukan Oleh Pemimpin” ada tiga hal utama dalam sebuah kelompok. Hal tersebut adalah:
1. Ada ketertarikan yang menyatukan orang dalam kelompok hingga dapat bersatu.
2. Adanya persatuan dalam kelompok dan mampu mencari dan membangun hubungan dengan orang lain.
10. Mempunyai tujuan yang sama sehingga mengikat, menguatkan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Joseph Luft mendefinisikan kelompok sebagai sistem hidup yang mempunyai persepsi yang dapat dibagikan kepada semua orang, yang membicarakan tentang kepribadian atau timbal balik dimana di dalamnya terdapat komunikasi dan konflik yang dapat dibagikan dan dirasakan dalam kelompok. Gerald Philip memandang kelompok sebagi sejumlah orang yang berkumpul yang memiliki ide dan tujuan sama, dimana di dalamnya dapat berbagi metode bersama agar dalam memperoleh keberhasilan serta menyelesaikan masalah dan saling mengingatkan tentang adanya asumsi yang dapat membahayakan di kemudian hari. Menurut Robert E Slavin yang membuat kelompok itu dapat bekerja dan berjalan adalah dengan memperhatikan beberapa hal sebagai dasar pertimbangan hal-hal yang dimaksud adalah :
1. Teori Motivasi
2. Teori Kognitif
3. Potensi penghalang pada pembelajaran kooperatif.
Dari beberapa pandangan di atas, model yang dilakukan dalam pemuridan Yesus adalah melalui kelompok dengan memberikan perhatian dan waktu bersama, terutama dengan keduabelas murid-Nya. Dia selalu bersama-sama dengan mereka. Para murid dipilih menyertai-Nya kemanapun Dia memberitakan kebaikan, kebenaran dan keadilan Allah. Mengapa Yesus berhasil membangun kelompok duabelas murid dan mengalami perkembangan pesat? Apakah yang Yesus kerjakan dalam program pemuridan yang dilakukan-Nya
Yesus mengikuti agenda yang sudah dirancang dan ditetapkan oleh Bapa. (Yoh 4:34; Mat 26:39) Dalam sebuah agenda Bapa, tentu di dalamnya ada agenda pemuridan. Yesus serius dengan kurikulum yang dirancang Bapa dan berjalan dalam agenda dan kurikulum dari Bapa. Materi pelajaran sesuai dengan kebenaran dan kehendak Bapa dilaksanakan sehingga agenda yang paling dramatis yaitu mengunakan media diri-Nya sendiri sebagai model pembelajaran, Ia dengan sadar menyerahkan nyawa-Nya disalibkan untuk menanggung dosa dunia dan barang siapa percaya mendapatkan pengampunan dosa ( Kis 10:43).
Yesus dalam membina kelompok murid-murid, Ia membangun suasana kelompok yang positif dan mengurangi ketegangan dan serangan terhadap pribadi, polarisasi dan permusuhan. Matius 18:1 sebagai contoh kemampuan Yesus mengelola kelompok binaan-Nya dan membangun para murid untuk tetap bersama-sama melayani. Yesus mampu menganalisa masalah, menetapkan kriteria bagi sebuah masalah dan menemukan solusi yang tepat sekaligus menuntun murid semakin bijaksana. Dan yang terpenting adalah bahwa hal yang dilakukan oleh Yesus dalam mengelompokkan murid-muridnya berbanding lurus dengan konsep pembelajaran kooperatif.
Yesus menjalani hidup bersama dengan murid-Nya dan selalu mengawasi dan melakukan evaluasi. Permasalahan yang dihadapi membentuk kelompok pemuridan Yesus semakin kokoh. Saat perahu yang ditumpangi para murid, Yesus dapat tidur di kapal. Ia menikmati kedamaian saat badai menerpa. Yesus memberikan evaluasi, memberikan pengajaran dan membuat para murid makin bertumbuh dalam mengenal kasih, kedamaian dan kuasa Allah sekaligus membangun dan meneguhkan iman para murid.
Dalam pemuridan Yesus semua anggota kelompok dapat perhatian dari Yesus, bahkan Yudas diperhatikan oleh Yesus sekalipun tidak layak menjadi murid Yesus. Yesus memberikan kebebasan tanpa mengikat para murid tetapi para murid mengetahui dengan jelas peranannya dalam kelompok. Dalam keberagaman peran, kesatuan kelompok murid dapat dipeliharaan keutuhannya. Murid-murid Yesus bukanlah bebas dari masalah. Persaingan, konflik terjadi tetapi Yesus Sang Guru dengan sabar, tenang juga tegas menegur dan menasehati. Yesus mengigatkan semua anggota kelompok pemuridan yang dipimpinNya supaya merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil.
Melalui kelompok yang dibina-Nya, dengan jumlah kelompok yang dibatasi, maka diskusi kelompok dan adanya gugus tugas penyelesaian suatu kasus semakin baik. Dalam kelompok pengajaran setiap anggota kelompok akan lebih banyak belajar dari dan bersama sama anggota kelompoknya dan para murid bertumbuh dalam saling memberi, saling melengkapi sehingga mampu mewujudkan cita-cita dan harapan bersama, termasuk harapan sang Guru, yakni Yesus Kristus Tuhan. Yesus tidak terbius dengan kelompok besar tetapi fokus terhadap kelompok duabelas orang.
B. MODEL PEMBELAJARAN KONVENSIONAL
1. Pengertian
Salah satu model pembelajaran yang masih berlaku dan sangat banyak digunakan oleh guru adalah model pembelajaran konvensional. Model ini sebenarnya sudah tidak layak lagi kita gunakan sepenuhnya dalam suatu proses pengajaran, dan perlu diubah. Tapi untuk mengubah model pembelajaran ini sangat susah bagi guru, karena guru harus memiliki kemampuan dan keterampilan menggunakan model pembelajaran lainnya. Memang, model pembelajaran kovensional ini tidak serta merta ditinggal oleh guru, dan guru mesti melakukan model konvensional pada setiap pertemuan, setidak-tidaknya pada awal proses pembelajaran di lakukan. Atau awal pertama kita memberikan kepada anak didik sebelum kita menggunakan model pembelajaran yang akan kita gunakan.
Menurut Djamarah, model pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan model yang menggunakan metode ceramah, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran. Dalam pembelajaran sejarah model konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan.
Selanjutnya menurut Roestiyah N.K, cara mengajar yang paling tradisional dan telah lama dijalankan dalam sejarah Pendidikan ialah cara mengajar dengan ceramah. Sejak duhulu guru dalam usaha menularkan pengetahuannya pada siswa, ialah secara lisan atau ceramah. Pembelajaran konvensional yang dimaksud adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh para guru. Bahwa, pembelajaran konvensional (tradisional) pada umumnya memiliki kekhasan tertentu, misalnya lebih mengutamakan hapalan daripada pengertian, menekankan kepada keterampilan berhitung, mengutamakan hasil daripada proses, dan pengajaran berpusat pada guru. Jadi kegiatan guru yang utama adalah menerangkan dan siswa mendengarkan atau mencatat apa yang disampaikan guru.
Dengan mengacu pada pendapat di atas dapat diartikan bahwa model pembelajaran konvensional adalah model belajar yang tidak dilandasi oleh paham
konstruktivisme, yakni titik tolak pembelajaran tidak dimulai dari pengetahuan awal
yang dimiliki siswa (prior knowledge). Pembelajaran dimulai dari penyajian informasi, pemberian ilustrasi dan contoh soal, latihan soal-soal sampai pada akhirnya guru merasakan apa yang diajarkan telah dimengerti oleh siswa. Dan selanjutnya akan diketahui bahwa dalam proses pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran konvensional terdapat ciri-ciri sebagai berikut : pembelajaran secara klasikal, para siswa tidak mengetahui apa tujuan mereka belajar pada hari itu. Guru biasanya mengajar dengan berpedoman pada buku teks atau lembar kerja siswa (LKS), dengan mengutamakan metode ceramah dan kadang-kadang tanya jawab. Tes atau evaluasi yang bersifat sumatif dengan maksud untuk mengetahui perkembangan jarang dilakukan. Siswa harus mengikuti cara belajar yang dipilih oleh guru (teacher centered), dengan patuh mempelajari urutan yang ditetapkan guru, dan kurang sekali mendapat kesempatan untuk menyatakan pendapat. Di samping itu, akan terlihat bahwa dalam model pembelajaran ini guru jarang mengajar siswa untuk menganalisa secara mendalam tentang suatu konsep dan jarang mendorong siswa untuk menggunakan penalaran logis yang lebih tinggi seperti kemampuan membuktikan atau memperlihatkan suatu konsep. Sehingga kemampuan berpikir siswa akan terasa sangat kurang dan hal itu akan berdampak langsung pada hasil belajar siswa.
2. Ciri- ciri Pembelajaran Konvensional
Burrowes dalam artikel tulisan I Wayan Sukra Warpala menyampaikan bahwa pembelajaran konvensional menekankan pada resitasi konten, tanpa memberikan waktu yang cukup kepada siswa untuk merefleksi materi-materi yang dipresentasikan, menghubungkannya dengan pengetahuan sebelumnya, atau mengaplikasikannya kepada situasi kehidupan nyata. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pembelajaran konvensional memiliki ciri-ciri, yaitu:
a. pembelajaran berpusat pada guru,
b. terjadi passive learning,
c. interaksi di antara siswa kurang,
d. tidak ada kelompok-kelompok kooperatif, dan
e. penilaian bersifat sporadis.
Sedangkan karakteristik model pembelajaran konvensional menurut Pratama, Mochammad Hendy Bayu, antara lain :
a. Siswa adalah penerima informasi
b. Siswa cenderung belajar secara individual
c. Pembelajaran cenderung abstrak dan teoritis
d. Perilaku dibangun atas kebiasaan
e. Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan
f. Peserta didik tidak melakukan yang jelek karena dia takut hukuman
g. Bahasa diajarkan dengan pendekatan struktural.
Berdasarkan pendapat di atas, uraian di atas berarti penyelenggaraan pembelajaran konvensional lebih menekankan kepada tujuan pembelajaran berupa penambahan pengetahuan, sehingga belajar dilihat sebagai proses “meniru” dan siswa dituntut untuk dapat mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari melalui kuis atau tes terstandar.
Jika dilihat dari tiga jalur modus penyampaian pesan pembelajaran, penyelenggaraan pembelajaran konvensional lebih sering menggunakan modus telling (pemberian informasi), ketimbang modus demonstrating (memperagakan) dan doing direct performance (memberikan kesempatan untuk menampilkan unjuk kerja secara langsung). Dalam perkataan lain, guru lebih sering menggunakan strategi atau metode ceramah dan/atau drill dengan mengikuti urutan materi dalam kurikulum secara ketat. Guru berasumsi bahwa keberhasilan program pembelajaran dilihat dari ketuntasannya menyampaikan seluruh materi yang ada dalam kurikulum. Penekanan aktivitas belajar lebih banyak pada buku teks dan kemampuan mengungkapkan kembali isi buku teks tersebut. Jadi, pembelajaran konvensional kurang menekankan pada pemberian keterampilan proses (hands-on activities).
Berdasarkan definisi atau ciri-ciri tersebut, penyelenggaraan pembelajaran konvensional merupakan sebuah praktik yang mekanistik dan diredusir menjadi pemberian informasi. Dalam kondisi ini, guru memainkan peran yang sangat penting karena mengajar dianggap memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar (pembelajar). Dengan kata lain, penyelenggaraan pembelajaran dianggap sebagai model transmisi pengetahuan. Dalam model ini, peran guru adalah menyiapkan dan mentransmisi pengetahuan atau informasi kepada siswa. Sedangkan peran para siswa adalah menerima, menyimpan, dan melakukan aktivitas-aktivitas lain yang sesuai dengan informasi yang diberikan.
Pembelajaran yang didasarkan pada asumsi-asumsi menurut model transmisi memandang bahwa pengetahuan terdiri dari potongan-potongan fakta. Siswa mempelajari pengetahuan atau keterampilan dari bagian-bagian ke keseluruhan. Diasumsikan bahwa penguasaan terhadap pengetahuan atau keterampilan yang kompleks dapat dicapai secara langsung apabila siswa sebelumnya telah mempelajari bagian-bagian pengetahuan tersebut. Dalam kondisi ini para siswa harus secara cepat dan seksama melalui aktivitas-aktivitas mendengarkan, membaca, dan mencatat untuk memperoleh informasi. Terkadang para siswa perlu juga melakukan aktivitas laboratorium dan/atau menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan informasi tersebut. Di sisi lain, guru berperan memproses pengetahuan dan/atau keterampilan yang diperlukan para siswa. Terhadap pemrosesan pengetahuan atau keterampilan tersebut, guru terkadang perlu menambahkan penguatan berupa gambar, simbol, tabel, atau jenis yang lain sebagai sumber belajar. Sumber belajar tersebut sebagian besar sifatnya tekstual (bukan kontekstual).
C. PERBEDAAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KONVENSIONAL
Dengan memperhatikan kedua uraian model pembelajaran di atas, penulis menyimpulkan perbedaan model pembelajaran kooperatif dengan model pembelajaran konvensional. Beberapa perbedaan yang mendasar antara pembelajaran kooperatif dan pembelajaran konvensioanal adalah bahwa pada model pembelajaran Kooperatif mempunyai sifat:
1. Adanya saling ketergantungan positif, saling membantu, dan saling memberikan motivasi sehingga ada interaksi promotif.
2. Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi pelajaran tiap anggota kelompok, dan kelompok diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan
3. Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik, dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang memberikan bantuan
4. Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memberikan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok
5. Keterampilan sosial yang diperlukan dalam kerja gotong-royong seperti kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan mengelola konflik secara langsung diajarkan
6. Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung guru terus melakukan pemantauan melalui observasi dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerja sama antar anggota kelompok.
7. Guru memperhatikan secara proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar.
8. Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi yang saling menghargai)
Sedangkan pada pembelajaran Konvensional mempunyai sifat:
1. Guru sering membiarkan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok
2. Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok sedangkan anggota kelompok lainnya hanya “mendompleng” keberhasilan “pemborong”.
3. Kelompok belajar biasanya homogen.
4. Pemimpin kelompok sering ditentukan oleh guru atau kelompok dibiarkan untuk memilih pemimpinnya dengan cara masing-masing.
5. Keterampilan sosial sering tidak secara langsung diajarkan.
6. Pemantauan melalui onservasi dan intervensi sering tidak dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung.
7. Guru sering tidak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar
8. Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas.
D. HASIL BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN (PAK)
1. Pengertian Hasil Belajar Pendidikan Agama Kristen (PAK)
Pengertian hasil belajar Pendidikan Agama Kristen (PAK) pada hakikatnya tidak berbeda dengan pengertian hasil belajar pada umumnya. Menurut Depdiknas, “hasil belajar adalah kemampuan yang utuh yang diraih oleh siswa yang mencakup kemampuan kognitif, kemampuan psikomotorik, dan kemampuan afektif atau perilaku”. Dengan memperhatikan pendapat ini maka hasil belajar mengarah kepada sesuatu yang dicapai dan diperoleh oleh siswa selama mengikuti kegiatan belajar.
Sebagaimana yang dikemukakan Dimyati dan Moedjiono bahwa “hasil belajar adalah merupakan hasil suatu interaksi tindak mengajar dan tindak belajar”. Dari pengertian ini, hasil belajar merupakan hal yang dipandang dari dua sisi, yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran.
Menurut Tu’u, “hasil belajar adalah hasil belajar yang dicapai peserta didik ketika mengikuti dan mengerjakan tugas dan kegiatan pembelajaran di sekolah”. Hal ini juga berarti kepada sesuatu yang dicapai oleh siswa selama mengikuti kegiatan belajar. Sedangkan menurut Surya bahwa: “hasil belajar ialah sesuatu yang dicapai oleh peserta didik sebagai perilaku belajar yang berupa hasil belajar yang berbentuk perubahan pada pengetahuan, sikap, dan keterampilan”. Hal ini berarti bahwa hasil belajar mengarah kepada perubahan yang diperoleh siswa baik berupa perubahan cara berpikir, bertingkah laku maupun dalam melakukan sesuatu setelah memperoleh pembelajaran.
Kemudian, Sijabat dalam artikelnya yang berjudul “Pentingnya Inovasi Dan Pengembangan Kurikulum Dalam Pendidikan Teologi” mengatakan bahwa “hasil belajar Pendidikan Agama Kristen (PAK) ialah kompetensi yang diharapkan dicapai siswa berupa pengetahuan, pemahaman, sikap, ketrampilan, nilai-nilai hidup sebagaimana yang tercantum dalam kurikulum Pendidikan Agama Kristen”. Pendapat ini juga mengarah kepada perubahan yang dialami oleh siswa setelah memperoleh pengalaman belajar.
Selanjutnya dalam bukunya, Oemar Hamalik menyebutkan bahwa, hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari yang tidak tahu menjadi tahu, dan dari yang tidak mengerti menjadi mengerti. Dari pengertian ini hasil belajar merupakan sebuah perubahan tingkah laku yang dialami oleh siswa setelah belajar.
Oleh Indra Munawar dalam blognya, dengan mengutip teori Benjamin S. Bloom, menyebutkan bahwa hasil belajar dalam rangka studi dicapai melalui tiga kategori ranah antara lain: kognitif, afektif dan psikomotor, dimpulkan bahwa "hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya”. Hal ini berarti bahwa hasil belajar keseluruhan kemampuan dan keahlian yang dicapai oleh siswa dalam semua aspek yang berhubungan dengan kegiatan belajar.
Sedangkan menurut Poerwadarminta, hasil belajar merupakan “sesuatu yang diadakan, dibuat, dijadikan oleh suatu usaha atau dapat juga berarti pendapat atau perolehan, buah dari proses belajar”. Dengan demikian pengertian ini mengacu kepada nilai akhir yang dicapai oleh si pembelajar.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disintesiskan bahwa hasil belajar Pendidikan Agama Kristen (PAK) adalah suatu penilaian akhir dari proses dan pengenalan yang telah dilakukan berulang-ulang, serta akan tersimpan dalam jangka waktu lama atau bahkan tidak akan hilang selama-lamanya karena hasil belajar turut serta dalam membentuk pribadi individu yang selalu ingin mencapai hasil yang lebih baik lagi sehingga akan merubah cara berpikir, bersikap dan bertingkah laku, serta akan menghasilkan perilaku belajar dan bekerja yang lebih baik sesuai dengan nilai-nilai dan norma kristiani.
Hasil belajar Pendidikan Agama Kristen (PAK) mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran. Proses penilaian terhadap hasil belajar dapat memberikan informasi kepada guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) tentang kemajuan siswa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan belajarnya melalui kegiatan belajar di dalam dan di luar ruangan kelas. Selanjutnya dari informasi tersebut guru Pendidikan Agama Kristen dapat menyusun dan membina kegiatan-kegiatan siswa lebih lanjut, baik untuk keseluruhan kelas maupun individu.
2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar Pendidikan Agama Kristen (PAK)
Tercapai atau tidaknya hasil belajar yang memuaskan, dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mendukung kegiatan/ proses pembelajaran itu. Secara umum keseluruhan faktor-faktor itu dikelompokkan menjadi dua faktor utama, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal atau bersumber dari dalam diri siswa. Sebaliknya faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri siswa.
Slameto dalam bukunya menguraikan bahwa yang tergolong ke dalam faktor internal adalah: jasmaniah (kesehatan, cacat tubuh), psikologis (yang mencakup intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan dan kesiapan), dan kelelahan. Sedangkan yang tergolong ke dalam faktor eksternal adalah: keluarga (meliputi: cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, latar belakang kebudayaan), sekolah (meliputi:metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar dan tugas rumah), dan masyarakat (meliputi: kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul dan bentuk kehidupan masyarakat). Penjelasan ini memiliki pengertian bahwa hasil belajar seseorang dipengaruhi oleh keseluruhan keadaan yang sangat berhubungan dengan diri si pembelajar baik secara langsung maupun tidak.
Menurut Caroll dalam R. Angkowo & A. Kosasih mengatakan bahwa hasil belajar dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu: bakat belajar, waktu yang tersedia untuk belajar, kemampuan individu, kualitas pengajaran, dan lingkungan. Pengertian ini dapat dipahami bahwa hasil belajar sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang terkandung dalam diri siswa, lingkungan belajar maupun dalam diri tenaga pengajar. Dan pendapat ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Nana Sudjana & Ahmad Rivai yang menyebutkan bahwa hasil belajar siswa di sekolah siswa itu sendiri dan lingkungannya.
Dengan demikian, sehubungan dengan beberapa faktor-faktor yang dikemukakan oleh beberapa tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar seseorang ditentukan oleh keadaan dirinya sendiri, suasana lingkungan belajar yang berperan dalam memberikan nilai-nilai dan dorongan bagi siswa untuk belajar, serta tenaga pengajar sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran.
Bagi seorang guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) keberhasilan anak didik dalam mencapai hasil belajar juga ditentukan oleh kompetensi guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Salah satu di antaranya adalah dengan mendesain model pembelajaran yang akan disajikan di dalam kegiatan pembelajaran. Sebab tujuan model pembelajaran adalah sebagai acuan dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas yang berdampak pada tujuan atau misi pendidikan tertentu. Hal itu berarti bahwa semakin tepat model pembelajaran yang dirancang dan diterapkan oleh guru maka akan semakin berdampak pada tercapainya tujuan pendidikan yang dimaksud.
3. Standar Isi Materi Pembelajaran Pendidikan Agama Kristen (PAK) Kelas XI SMA Semester I Tahun Pembelajaran 2009/2010 (KTSP)
Berdasarkan materi pelajaran yang disusun dan diujicobakan di sekolah negeri dan swasta di seluruh Indonesia sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka dengan ini yang menjadi Standar Isi Materi Pembelajaran Pendidikan Agama Kristen (PAK) untuk kelas XI SMA Semester I Tahun Pembelajaran 2009/2010 dalam Buku Pegangan Siswa yang diterbitkan oleh BPK. Gunung Mulia adalah sebagai berikut:
Standar Kompetensi: Merespon nilai-nilai kristiani yang diperhadapkan dengan gaya hidup modern serta perkembangan IPTEK dan menjelaskan cara mewujudkan dalam hidup keseharian.
Kompetensi Dasar Indikator Judul Pelajaran Referensi Alkitab
• Siswa mampu mengidentifikasikan dan mewujudkan nilai-nilai kristiani di dalam hidupnya
• Siswa mampu mewujudkan nilai-nilai kristiani di dalam pergaulan antar pribadi dan sosial.
• Mengidentifikasi nilai-nilai kristiani di dalam kehidupan sehari-hari
• Bersikap kritis terhadap norma-norma di dalam masyarakat berdasarkan nilai-nilai kristiani.
• Menggunakan nilai-nilai kristiani sebagai dasar pergaulan antar pribadi dan sosial.
• Mengidentifikasi tantangan dan peluang dalam mewujudkan nilai-nilai kristiani pada pergaulan antar pribadi dan sosial. Bersikap Kritis Terhadap Nilai-nilai Universal dalam Masyarakat
1 Ams 5: 21;
Mat 5: 9, 37; 22: 37-40,
25: 14-30;
Rm 12: 3;
Gal 5: 22-23;
Filp 2: 1-8
Iman Kristen dan Nilai-nilai Kristiani
2 Mzm 112: 7
Mat 5: 44
Mat 6: 25-34
Mat 25: 14-30
Luk 17: 7-10
Yoh 15: 12
Ef 5: 22-23
Bercermin Diri
3 Kej 1: 26-27;
Mat 25: 19-20;
Gal 5: 19-20
Belajar dari Tokoh Alkitab
4 Kej 12-19; 37-47;
1 Sam 16-26;
Dan 1-12
Kis 6: 8-7: 60;
1 Tim 1: 31
Belajar dari Tokoh Gereja
5 Mat 7: 10-19;
Rm 8: 17;
2 Kor 11: 23, 25
Pergaulan Remaja Kristen
6 Mrk 2: 19;
Rm 12: 15;
1 Kor 15: 33;
1 Tim 2: 9-10.
Nikmat Membawa Maut
7 Yeh 23: 1-49;
1 Kor 6: 12-20;
Gal 5: 19-20;
Yak 1: 14;
Why 21: 8.
Bersukarialah Dalam Kemudaanmu
8 Mzm 8: 4-5;
37: 4-5; 92: 13-16;
Pkh 11: 9-10;
Yes 43: 4;
Flp 1: 19-26.
E. LANDASAN BERPIKIR
Peningkatan hasil belajar adalah hal yang sangat diinginkan oleh setiap insan pembelajar (peserta didik) di dalam sebuah kegiatan pembelajaran. Demikian juga dalam Pendidikan Agama Kristen (PAK). Selain merupakan faktor keberhasilan yang dicapai oleh siswa, hasil belajar yang baik juga merupakan faktor keberhasilan dari seorang guru sebagai tenaga pendidik dalam menunaikan tugasnya. Itu berarti bahwa guru sebagai pendidik juga memiliki pengaruh yang sangat besar untuk menentukan berhasil atau tidaknya siswa dalam meningkatkan kualitas akademiknya sebagai pembelajar. Tentu bagi seorang guru, usaha yang harus dilakukan untuk mencapai semuanya itu bukan hanya sekedar menyampaikan isi atau materi pembelajaran kepada siswa. Tetapi juga harus mampu merangsang siswa untuk belajar dan sekaligus mengangkat nilai belajar siswa.
Dalam hal ini berarti guru, khususnya guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) juga dituntut untuk memacu siswa menjadi seorang pembelajar yang seutuhnya. Guru dituntut menjadi tenaga edukatif yang kreatif. Salah satu cara yang harus dilakukan oleh seorang guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) adalah dengan meningkatkan profesionalismenya dalam merancang dan menerapkan model pembelajaran di dalam kelas.
Namun kenyataanya, dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari yang dilakukan di dalam pertemuan di kelas, masih banyak guru Pendidikan Agama Kristen yang tidak mampu merancang model pembelajaran yang mampu menjawab kebutuhan belajar siswa. Guru Pendidikan Agama Kristen hanya menerapkan model pembelajaran konvensional (tradisional) atau yang dikenal dengan model pembelajaran langsung (direct learning), yakni model pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah, yang dilakukan secara monoton. Karena model pembelajaran ini sangat terkesan lemah. Beberapa kelemahan metode ceramah adalah: membuat siswa pasif, mengandung unsur paksaan kepada siswa, Mengandung daya kritis siswa, anak didik yang lebih tanggap dari visi visual akan menjadi rugi dan anak didik yang lebih tanggap auditifnya dapat lebih besar menerimanya, sukar mengontrol sejauh mana pemerolehan belajar anak didik, Kegiatan pengajaran menjadi verbalisme (pengertian kata-kata), dan bila terlalu lama membosankan.
Hasilnya, selain mengakibatkan kegiatan pembelajaran yang terkesan kaku, siswa merasakan kejenuhan, juga membuat siswa merasa tidak tertarik dengan mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen yang akhirnya bermuara tidak meningkatnya hasil belajar siswa seperti yang diharapkan oleh semua pihak (siswa, orang tua, guru, dan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan).
Oleh karena itu dari permasalahan yang terjadi, penggunaan model pembelajaran kooperatif diharapkan perlu dikuasai dan diterapkan oleh guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) pada kegiatan pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam ruangan kelas maupun pembelajaran yang berlangsung di luar ruangan kelas. Karena dari beberapa model pembelajaran yang ada, pembelajaran kooperatif dirasa mampu mengidentifikasi atau menjawab kebutuhan pembelajar (siswa) sebagai makhluk sosial yang harus hidup bergantung pada sesama.
Juga, dengan menggukan model pembelajaran ini siswa mampu secara bertahap semakin mampu untuk menguasai materi pembelajaran yang diajarkan. Alasannya karena model pembelajaran kooperatif menuntut kerja sama (gotong royong) di antara siswa yang akhirnya pemecahan masalah secara bersama dapat terwujud. Serta dengan adanya interaksi yang baik di antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa untuk menjawab tuntutan pembelajaran, akan membantu siswa dalam menumbuhkembangkan pemahamannya terhadap materi yang diajarkan. Dan hal itu akan berbanding lurus dengan meningkatnya hasil belajar Pendidikan Agama Kristen yang dicapai oleh siswa.
Sehubungan dengan permasalahan yang sering dihadapi oleh tenaga pendidik terutama guru Pendidikan Agama Kristen (PAK), model pembelajaran kooperatif diduga cocok diterapkan dalam ruang lingkup Pendidikan Agama Kristen di sekolah (di dalam dan di luar ruangan kelas), karena sesuai dengan budaya bangsa yang menjunjung tinggi nilai gotong royong dan budaya Alkitab yang mengedepankan nilai-nilai kasih dan saling berbagi yang terwujud dalam pertemuan antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa di dalam kelas. Demi tercapainya tujuan Pendidikan Nasional dan Tujuan Pendidikan Agama Kristen itu sendiri.
F. HIPOTESIS
Sehubungan dengan landasan (kerangka) berpikir yang sudah dipaparkan di atas, maka hipotesa penelitian yang diperoleh adalah:
Ho : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar Pendidikan Agama Kristen pada siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif dengan yang menggunakan model pembelajaran konvensional
Ha : Terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar Pendidikan Agama Kristen pada siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif dengan yang menggunakan model pembelajaran konvensional
BAB III
ANALISIS DAN PERANCANG SISTEM
1. Waktu dan Tempat Penelitian
Menurut Sukardi, waktu penelitian adalah waktu yang mencakup peluang dan kesempatan yang digunakan oleh peneliti untuk melakukan penelitian di lapangan. Sedangkan tempat penelitian, menurutnya adalah tempat dimana proses studi yang digunakan untuk memperoleh pemecahan masalah penelitian berlangsung.
Penelitian ini berlangsung selama lima bulan, dari Mei 2009 sampai dengan November 2009. Dan tempat diadakannya penelitian ini mengambil tempat di Yayasan Pendidikan Kristen SMP-SMA GKPI yang berlokasi di Jl. Jamin Ginting, Kompleks Pamen Padang Bulan – Medan pada siswa kelas XI SMA semester I Tahun Pembelajaran 2009/2010.
Adapun alasan penulis memilih sekolah ini menjadi tempat untuk mengadakan penelitian adalah:
1. Letak lokasinya yang strategis, sehingga mudah dijangkau oleh penulis
2. Ingin mengetahui sejauh mana tingkat perbedaan yang diakibatkan oleh model pembelajaran kooperatif terhadap hasil belajar Pendidikan Agama Kristen di sekolah tersebut.
2. Metode Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka jenis penelitian ini tergolong ke dalam bentuk Pre Experimental Design atau yang sering disebut dengan penelitian eksperimen tidak sebenarnya (quasi experiment.) Penelitian pra-eksperimen adalah suatu cara untuk mencari hubungan sebab akibat (hubungan kausal) antara dua faktor yang sengaja ditimbulkan oleh peneliti dengan mengurangi faktor-faktor lain yang mengganggu.
Suryabrata mengatakan bahwa ”penelitian pra-eksperimen ini mengandung beberapa ciri eksperimental, dalam jumlah yang kecil, karena itu tidak dapat dikatakan sebagai benar-benar eksperimen”.
Dalam rancangan penelitian ini diambil sekelompok subjek populasi tertentu dan dikelompokkan secara rambang menjadi dua kelompok, yaitu; kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen dikenai variabel perlakuan tertentu dalam jangka waktu tertentu, lalu kedua kelompok ini dikenai pengukuran yang sama dengan desain yang digunakan adalah pre test dan post test, dengan menggunakan pola:
Yang berarti bahwa dalam penelitian ini observasi dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum eksperimen dan sesudah eksperimen. Observasi yang dilakukan sebelum eksperimen (01) disebut pre-test, dan observasi sesudah eksperimen (02) disebut pos-test.
Perbedaan antara 01 dan 02 yakni 02 - 01 diasumsikan merupakan efek dari treatment atau eksperimen. Sehingga dalam penelitian ini akan terlihat sejauh mana Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Terhadap Hasil Belajar Pendidikan Agama Kristen Siswa Kelas XI SMA GKPI Padang Bulan T.P 2009/2010. Untuk mengetahui tingkat pengaruhnya, maka penulis menggunakan metode deskriptif dalam pemecahan masalah penelitian di atas.
Rancangan penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
Tabel 1. Rancangan Penelitian
Kelas Perlakuan Tes Akhir
Eksperimen X T
Kontrol - T
Keterangan :
X = Pembelajaran Model Pembelajaran Kooperatif
T = Tes akhir diberikan pada kelas eksperimen dan kontrol
3. Subjek Penelitian
a. Populasi dan Sampel
Menurut Babbie dalam wordpress, yang dimaksud dengan populasi penelitian adalah elemen penelitian yang hidup maupun yang tidak hidup yang tinggal bersama-sama dan secara teoritis menjadi target hasil penelitian. Sedangkan sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi Demikian juga halnya dengan Arikunto menyebutkan bahwa populasi adalah keseluruhan subjek dalam penelitian, dan sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka yang menjadi populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMA GKPI Padang Bulan-Medan, semester I, T.P 2009/2010. di mana kelas XI terdiri dari dua kelas, yakni kelas XI A dan kelas XI B. Kelas A sebanyak 32 orang dan Kelas B sebanyak 36 orang. Dengan demikian jumlah populasinya adalah sebanyak 68 orang. Dan jumlah sampelnya juga terdiri dari keseluruhan populasi, sehingga sampel penelitian ini dinamakan sampel total.
Dalam proses penelitian yang dilakukan oleh penulis, kedua kelas tersebut dapat dikelompokkan menjadi kelas kontrol (control class) dan kelas eksperimen (experiment class). Dan untuk menentukan masing-masing keberadaan sampel, maka digunakan sistem acak. Dan yang terpilih menjadi kelas kontrol adalah kelas XI B, sebaliknya yang menjadi kelas eksperimen adalah kelas XI A.
Tabel 2. Komposisi Sampel Siswa Kelas XI SMA GKPI Padang Bulan-Medan, Semester I Tahun Pembelajaran 2009/2010.
Kelas Jumlah Populasi/ Sampel
XI A 32 orang
XI B 36 orang
Jumlah 68 orang
Kelas XI B diberikan sistem pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran konvensional. Sementara itu pada kelas XI A diberikan sistem pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif. Kemudian dari hasil keseluruhan sampel yang diteliti, hal yang dilakukan oleh penulis adalah menggeneralisasikan hasil penelitian sampel. Hal bertujuan untuk mengangkat kesimpulan penelitian sebagai suatu yang berlaku populasi
Dari keterangan yang diuraikan di atas maka penulis membuat prosedur penelitian dalam bentuk sebagai berikut:
Tabel 3. Prosedur Penelitian
4. Instrumen Penelitian
Instrumen merupakan alat yang digunakan untuk pengambilan data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes yang dilakukan setelah pelaksanaan eksperimen selesai. Bentuk tes yang digunakan adalah pilihan ganda (multiple choice) untuk mengukur perbedaan materi yang diajarkan peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran Pendidikan Agama Kristen (PAK).
Instrumen dari penelitian ini adalah tes objektif dalam bentuk pilihan ganda yang telah dilaksanakan pada kelas sampel. Agar didapat tes yang benar-benar valid reliabel serta memperhatikan taraf kesukaran dan daya beda soal akan terlebih dahulu dilakukan uji coba tes sebelum tes diberikan pada sampel penelitian. Instrumen ini disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan materi pembelajaran yang diajarkan di sekolah yang bersangkutan, yakni SMA GKPI Padang Bulan-Medan. Jumlah keseluruhan tes adalah 35 butir.
Tabel 4. Kisi-kisi Instrumen Hasil Belajar Pendidikan Agama Kristen (PAK)
Aspek Indikator Dimensi Jenjang Pertanyaan Jlh %
C1 C2 C3 C4
1. Hidup berdasarkan nilai-nilai kristiani
2. Bergaul sesuai dengan nilai-nilai kekristenan
a. Bersikap kritis terhadap nilai-nilai universal di dalam masyarakat
b. Iman Kristen dan nilai-nilai kristiani
c. Bercermin diri
d. Belajar dari tokoh-tokoh Alkitab dan tokoh-tokoh gereja
a. Pergaulan remaja Kristen
b. Nikmat membawa maut
c. Bersukarialah dalam kemudaanmu 1, 2 & 3
8 & 9
26
13, 14, 15, 18 22, 27 & 28
20, 23 & 34
-
25 32
7
10&11
16
21
24
- 4 & 31
6, 12 & 33
28
17, 19 & 30
-
-
- -
5
-
35
-
-
- 6
7
4
12
4
1
Komentar
Posting Komentar